27 Nov 2012

Bentuk Abstraksi Komunikasi Remaja



Tinjauan terhadap Materi-Materi dalam Rubrik Deteksi Jawa Pos

Bentuk Abstraksi Komunikasi Remaja

(Karya : Ichwan Arif, S.S.)

Sama halnya dengan komunikasi, informasi berita dalam media massa adalah sebuah bentuk proses dinamik transaksional yang bisa mempengaruhi sikap dan prilaku seseorang. Selain itu, dalam proses tersebut terdapat beberapa stimulasi berupa isyarat-isyarat kepada sumber dan penerima tentang kualitas dan kredibilitas pesan yang diberikan.
Dalam rubrik Deteksi Jawa Pos, sebenarnya kalau kita telusuri lebih dalam adalah menawarkan sebuah bentuk komunikasi kepada pembaca (baca: remaja). Hal ini bisa kita cermati lewat unsur-unsur yang terkandung. Ada  sumber, pemberi, penyandian / lambang (encoding), pesan, dan penerima (receiver). Kelima hal tersebut adalah unsur yang sangat fundamental dalam menciptakan komunikasi.

Pathos Komunikasi Remaja
Bagi remaja, kehadiran rubrik Deteksi bisa memberikan warna tersendiri dalam bersikap dan berprilaku. Selain mengandalkan tema-tema materi yang lagi booming di kalangan remaja, dalam rubrik tersebut juga memberikan pathos (ketertarikan) terhadap permasalahan-permasalahan yang sering timbul dan pernah dilakukan oleh remaja.
Deteksi dengan cermat meneropong permasalahan yang sangat akrab dengan dunia remaja, mulai dari permasalahan di rumah, sekolah, sahabat, sampai dengan percintaan. Dia di sini selain berdiri sebagai sumber, dia juga memiliki fungsi ganda sebagai pemberi yang memberikan sebuah informasi kepada pembaca. Yang menarik di sini adalah, Deteksi mencoba ‘menggelindingkan bola salju’ tema kepada responden terlebih dahulu. Hal ini bisa kita lihat lewat data responden berdasarkan usia, jenis kelamin dan pendidikannya. Dari hasil respon tersebut diolah menjadi informasi-informasi yang akan dibalikkan kembali kepada pembaca secara luas.
Siklus antara sumber dan pemberi ini menjadi ciri khas tersendiri bagi Deteksi. Hal ini dimaksudkan selain sebagai bentuk penghormatan terhadap audien terhadap isi, juga memberikan keotentikan informasi. Ini membuktikan bahwa sumber mencoba membangkitkan minat lewat tatanan isi dan pengalaman.

Abstraksi Rubrik Sebagai Sarana Komunikasi
Usaha membangkitkan minat yang dilakukan oleh sumber, direfleksikan lewat isi rubrik. Si Det, Bla Bla Bla, Tak Tik Tak, Profil, Cartoon Corner, Share, dan abstraksi hasil polling. Ketujuh isi tersebut masing-masing memiliki warna bahasan tersendiri. Kalau Si Det, berbicara lewat bahasa gambar dan tulis. Bla Bla Bla, menyodorkan tanggapan dari ahli. Tak Tik Tak, bersuara tentang simpulan isi. Profil, lebih pada menjabarkan data polling. Share, adalah cerminan pengalaman dari tokoh idolah remaja. Sedangkan abstraksi hasil polling, adalah uraian data yang memuat bentuk wawancara secara langsung sumber dan responden.
Tatanan nilai yang diberikan sumber komunikasi tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai strategi dalam usaha memperlancar informasi masuk ke penerima (baca: pembaca). Dengan kata lain, jalinan yang dibangun tersebut adalah salah satunya adalah  untuk menunjukkan simpati terhadap informasi yang beberkan secara umum. Ini bisa dideteksi lewat data lengkap dan ketuntasan informasi yang dibahas. Mulai hal yang sepele, semisal mencontek ketika ujian, dibahas secara baik dan sederhana dari beberapa sudut. Ahli berbicara tentang kebiasaan buruk pelajar, pelajar bicara blak-blakkan lewat bahasa wawancara dengan data pernah melakukan  atau tidak. Tokoh idola juga ikut-ikutan bicara tentang simpati ingkatan berupa pengalaman yang pernah dia lakukan.
Jalinan komunikasi tersebut membawa efek yang luar biasa terhadap sikap dan prilaku pembaca. Seorang ahli memberikan tanggapan dan masukan seputar permasalahan yang dibahas. Hal ini bisa dijadikan pondasi pemikiran pembaca untuk instropeksi diri, merenung, dan melakukan hal-hal yang positif. Kehadiran tokoh idola yang memberikan shareing berupa pengalaman, menunjukkan informasi yang disampaikan memberikan kepastikan publik bahwa idola pernah dan merasakan hal yang sama dengan pembaca.
Untuk menjembatani komunikasi yang terjalin, sumber dan pemberi informasi membuat lambang-lambang sebagai ungkapan perasaan dan pikiran yang bisa secara langsung dirangsang dengan mudah oleh penerima informasi. Salah satunya dengan gambar kartun. Selain untuk menerjemahkan inti pikiran-pikiran informasi, gambar ini dijadikan sebagai ‘jalan tol’ untuk mencernah kode-kode bahasa yang menjadi sasaran pokok pembahasan. Ketika pembaca tertawa, tersenyum atau cemberut, itu merupakan isyarat pembuka bahwa komunikasi ‘pertama’ berhasil ditangkap.
Unsur keempat adalah pesan (massage). Kalau Lambang bersifat internal. Pesan bersifat eksternal. Lambang akan menghasilkan pesan-pesan. Sedangkan Pesan sendiri merupakan rakitan dari lambang-lambang yang berupa perasaan dan pikiran yang harus sampai dari sumber ke penerima, bila sumber bermaksud mempengaruhi penerima. Ketergantungan komunikasi tersebut adalah bentuk holistik dari karakteristik komunikasi itu sendiri.
Ketika Deteksi membahas permasalahan sekitar sekolah; mulai dari mencontek, membentuk gang di kelas, suntuk terhadap mata pelajaran tertentu, mading sekolah sampai dengan guru yang killer. Sekitar rumah; mulai dari uang saku, orang tua yang cerewet, dekorasi kamar tidur, sampai dengan urusan sarapan. Sekitar pergaulan; mulai dari percintaan, selingkuh, putus pacar, urusan backstreet sampai dengan nonton film blue. Pengangkatan tema tersebut pasti memiliki maksud atau pesan  tertentu. Atau paling tidak memberikan bukti pengalaman-pengalaman berharga.
Pesan lebih mudah diterjemahkan oleh penerima karena dalam rubrik tersebut menyiapkan kolom-kolom yang diperuntukkan khusus untuk memberikan penegasan akhir. Seorang ahli, dalam Bla-Bla Bla, memberikan point of view lewat kajian akademistis. Pola-pola pikir tersebut memberikan penyadaran akan sebuah aksiomatik pada sikap dan tingkah laku. Pesan yang tersamar lewat kode bahasa, didealektikan ke dalam bentuk yang lebih sederhana. Lebih objektif. Dengan demikian penerima akan bisa leluasa masuk dalam kaidah pesan utamanya.
Kolom Tak Tik Tak, fungsinya hampir sama dengan kolom ahli. Tetapi keberadaan dia lebih pada penandasan ulang dari pembicaraan yang disampaikan oleh ahli. Pada titik ini, kita disuguhkan pada simpulan. Apa dan bagaimana, permasalahan digambarkan lebih detail. Disampaikan dengan menitikberatkan pada pemahaman dan kebertahuan informasi.
Di sinilah letak kredit poin berupa amanat yang ingin disampaikan sumber kepada penerima. Bahwa, sumber komunikasi, Deteksi, melempar keinginan. Keinginan tersebut akan dijembatani oleh penerima komunikasi.  Lewat sebuah pemikiran, perenungan, dan analisis, untuk sampai pada kehendak dari pembaca. Motivasi tersebut lebih pada respon komunikasi balik yang saling menguntungkan.

Kesantunan   Berbahasa
Selain mengedapankan pada pada masalah yang up to date pada kemasan berita, sumber komunikasi juga memilih ‘kesantunan berbahasa’ dalam menyampaikan kehendak. ‘Kesantunan berbahasa’ yang dipilih oleh sumber komunikasi adalah penggunaan bahasa remaja. Daya magnet bahasa ini, dengan harapan menambah keakraban antara sumber dan penerima komunikasi. Kesantunan berbahasa ini dibakukan dalam bahasa remaja. Bahasa ini menjadi pengikat imajinasi dan daya jelajah ekspresi remaja untuk mendalami, mengupas, dan menjabarkan isi. Misal, kata ngomongin, nggak, bikin, malu-maluin, ngerjain, mbolos, nerangin, mbingungin, sering digunakan sebagai sarana ‘penjernih’ dalam komunikasi.
‘Peremajakan’ bahasa yang dilakukan oleh sumber, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengefektifkan jalannya komunikasi. Usaha tersebut adalah sebagai bentuk representasi kesatuan-kesatuan bahasa untuk menciptakan maksud dan tujuan penulis. Salah satu tujuan yang hendak dibidik adalah literary discourse, yaitu untuk menghibur, menyenangkan atau yang mengandung tujuan estetik.
Tapi kadangkala batas ‘kesantunan berbahasa’ juga pernah dilanggar dalam penjabaran permasalahan. Kesantunan berbahasa juga sering kali kebablas. Tindak lokusi  atau tindak bertutur ada kalanya menggunakan idiom kata yang kurang layak untuk dipakai. Ini bisa dilihat dalam penggunaan kata sindikat, bego, prostitusi pendidikan (Jawa Pos, 19 Movember 2005). Sebenarnya kata-kata tersebut dapat tergantikan oleh kata-kata lain yang memiliki makna sama. Dengan begitu,  tindak lokusi bisa melakukan eufimisme bahasa dalam indirect speech act atau tindak tutur tak langsung lewat media
Kesantunan berbahasa, sebenarnya adalah motivasi pertama yang dibawa oleh tindak ilokusi, sumber komunikasi. Kehadirannya bukan tidak mungkin akan bisa membawa alam pikiran penerima ke dalam alam pikiran sumber komunikasi. Hal ini adalah bentuk ‘keteraturan’ dalam komunikasi publik.

Upaya Membentuk Opini Publik
            Langsung maupun tak langsung, keberadaan rubrik Deteksi telah memberikan warna warni terhadap abstraksi remaja metropolis.  Beberapa permasalahan yang dilontarkan dalam bentuk tulisan sedikit banyak telah ‘mempengaruhi’ publik remaja. Hal inilah menjadi titik poin, bahwa keberadaan berhasil membentuk opini publik. Semisal, Deteksi, Minggu, 11 Desember 2005, menampilkan arti favorit ala Deteksi. Mulai dari penyanyi solo, pelawak, presenter, bintang iklan, group band, pembaca berita, dan bintang film. Kehadiran data polling terhadap responden telah memberikan image kepada pembaca bahwa pengakuan mereka-mereka telah menentukan sebuah kemenangan. 








Penguatan Konsep dan Aplikasi Proyek



Memeta Arah Pembelajaran Bahasa Indonesia
Penguatan Konsep dan Aplikasi Proyek
            Dalam pembelajaran, bahasa Indonesia memiliki 5 dunia ranah, yaitu menulis, mendengarkan, menyimak, karya sastra, dan  …. . Dari ranah-ranah tersebut, saya setuju kalau kita memberikan penekanan lebih pada segi penulisan, tanpa meminggirkan unsur yang lain. Artinya, mendengar, menyimak sampai karya sastra pada akhirnya akan bermuara pada pengoptimalan kinerja penulisan.
            Di sinilah arah pembelajaran bahasa Indonesia yang ideal.


Saya, Guru, dan Konsep 5 W + 1 H





Profesi guru adalah profesi adiluhung, menurut saya. Profesi yang tidak pernah habis atau mati. Tidak pernah selesai dalam batas ruang dan waktu. Tetapi keadiluhungan tersebut harus kita letakkan pada pengertian, guru yang bukan hanya sebatas pada tataran memberikan pengajaran. Terus selesai. Tetapi pemaknaan guru harus kita posisikan pada kata membimbing berkelanjutan. Pada proses holistik.
Menurut saya, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki guru berkualitas. Mengedepankan pada pencerahan anak bangsa. Mengedepankan aplikasi, inovasi dan bukan hanya sekedar tataran teori.
Di sinilah, sebenarnya letak permasalahan bangsa sekarang. Mengapa? Rawannya sumber daya manusia Indonesia ke depan adalah terletak pada benar dan tidaknya guru-guru kita dalam mengemban dan menjalankan profesionalitasnya. Terarah dan tidaknya target ketercapaiannya. Berhasil atau tidaknya rantai pengajarannya. Jangan sampai pendidkan hanya sebatas retorika. Omong kosong tanpa tindakan nyata.
Menurut saya, pertanyaan bagaimana menjalankan profesi guru di era sekarang, akan lebih tepat dan aktual daripada pertanyaan, sudahkan Anda mengikuti sertifikasi ? Mengapa demikian ? Kata ’menjalan profesi’ merupakan deretan kata kerja yang menjurus aplikasi dan bermuara pada hasil yang akan dicapai. Ini adalah manifestasi dari metode, cara, bentuk, strategi, teknik yang kita lakukan dalam ruang lingkup pendidikan kita.
 Ketika saya menjadi guru, saya tidak berhenti untuk mencoba. Sampai akhirnya, saya mempraktikan konsep 5 W + 1 H ke siswa. Pembelajaran lebih terarah dan mempermudah saya dalam merancang untuk mencapai target.
Pertama, what, apa. Apa yang harus menjadi menu pertama dan utama untuk siswa ? Hal apa yang sangat penting yang seharusnya kita berikan pada peserta didik ? Lewat pertanyaan ini sebenarnya memiliki keterkaitan langsung dengan sistem pendidikan atau kurikulum yang menjadi rujukan dalam pendekatan pendidikan. Hal yang terkaitan dengan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pembelajaran, sampai dengan hasil yang dicapai siswa lewat pembelajaran, setidaknya mulai awal bisa terjawab.
Untuk itu, saya harus memilah dan memilih, hal apa yang kompetensi dan tidak kompetensi dalam daftar menu harian siswa. Ujian pertama cukup itu.
Kedua, who, siapa. Objek pembelajaran kita adalah peserta didik. Siswa. Mereka sangat kompleksitas. Mulai etika, estetika, moral, prilaku sampai-sampai nilai-nilai kehidupannya. Mereka bukan benda mati yang mengedepankan sikap pasif dan menerima. 
Mengubah manusia lebih memiliki tantangan daripada menghadapi benda mati yang memiliki sifat diam dan menunggu. Ketika produk bendanya  kurang maksimal, mungkin bisa langsung dipermak ulang. Dipoles. Diproduksi lagi dan setrusnya sampai menghasilkan barang yang memiliki nilai jual tinggi. Memproduk manusia tidak bisa dianalogikan seperti membalikan telapak tengan. Langsung jadi. Peserta didik memiliki proses rasionalitas yang tinggi. Tidak bisa, bim salabim, langsung jadi manusia yang super. Manusia yang genius.
Menurut Sindhunata dalam buku Dilema Usaha Manusia Rasional, akal budi akan digunakan sebagai sarana dan alat untuk memperhitungkan segala, mempertahan diri, dan membuahkan kegunaan sesuai dengan tujuan. Mengubah budaya dan akal budi adalah sebuah perenungan yang harus terjawab ketika kita bertemu dengan siswa. Kapan dan di mana pun.
Saya harus memberikan sentuhan pengalaman dari kita daripada meletakkan ratusan rumus di kognisi mereka. Saya akan memberikan bimbingan daripada menyelesaikan soal-soal yang mengedepankan pemikiran pendek, naik kelas atau lulus dengan nilai memuaskan. Saya lebih mengutamakan cara kerja atau proses yang matang daripada pemecahan secara instan.
Saya menyadari, mereka memiliki potensi ledakan. Kita harus bisa dan mampu mengasah dengan benar. Mereka akan menjadi manusia berpendidikan. Manusia yang mampu berbudaya dan berakal.
Ketiga, where, di mana. Apa kaitannya kata tanya ini dengan saya sebagai guru ? Saya mengajar di daerah Gresik. Daerah yang memiliki pontensi pembelajaran kontekstual. Mulai dari ekonomi, budaya, sejarah, seni, sistem pemerintahan, perdagangan, pariwisata, sampai manusianya. Maka, saya tidak perlu repot mencari objek pembelajaran ke luar daerah. Pembelajaran akan saya fokuskan pada objek tersebut. Mulai mengenalkan, mempelajarai, mengkaji, dan pengolahan data berkaitan sisi tinjauan pembelajaran yang dikaji dan dipelajari.
Keempat, why, mengapa. Pertanyaan ini menjurus pada alasan dari hal yang dilakukan. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran terkini, menurut saya. Pembelajaran yang mengarah pada lingkungan dan permasalahannya. Logis, menurut saya, kalau siswa didik diberikan bekal pengenalan terhadap cara pandangan lingkungan sendiri. Mengenalkan sistem pemerintahan daerah, mempelajari seni, budaya, dan sejarahnya, merekap data ekonomi dan perdagangannya, melihat sisi pariwisata sebagai pemasukan devisa daerah, sampai mengenal watak dan sifat manusianya adalah pembelajaran yang sangat berharga. Siswa akan lebih membumi. Mereka akan lebih mengenal ’rumah sendiri’ sebelum mengenal lebih luas dan jauh pada lingkungan mereka nanti.
Kelima, when, kapan. Kalau teori tentang pembelajaran hanya mengangkasa. Kalau praktik pembelajaran hanya sebatas lembaran-lembaran kertas saja, saya yakin siswa nantinya hanya diajari bermimpi. Atau berangan-angan saja. Supaya siswa kita tidak menjadi generasi pemimpi, pembelajaran terkini yang menitikberatkan pada siswa harus kita mulai sekarang juga. Apa itu inovasi pembelajaran atau kreativitas dalam metode pengajaran ?
Keenam, how, bagaimana. Pertanyaan ini adalah kata kunci dari metote pembelajaran, menurut saya. Berkaitan dengan cara dan praktik yang dilakukan untuk menenuhi target yang dinginkan. Kita semua menyadari, bahwa dunia pendidikan memiliki ruh dalam mencetak, membangun, dan mengarahkan generasi mendatang.
Untuk mengantisipasi sering bergantinya kurikulum, sebaiknya kita menggunakan kurikulum terkini saja, menurut saya. Yaitu kurikulum yang mengarah, menitikberatkan, dan memusat pada siswa sebagai objek pembelajaran.
Kurikulum yang tidak pernah usang adalah kurikulum yang mengutamakan praktik aplikasi ketimbang ceramah tentang teori. Tapi, kita harus ingat bahwa kurikulum adalah benda mati. Maka dibutuhkan orang yang mampu menjalankan dan menerapkan sehingga sasaran bisa tercapai. Untuk itu, dibutuhkan guru yang at home. Guru yang memiliki dedikasi dan orientasi pada inovasi pembelajaran.
Siswa jangan terlalu dikungkung di dalam kelas manakala sedang mempelajari sejarah atau sistem pemerintahan daerah. Siswa jangan disuruh duduk rapi di meja kalau sedang mempelajari kesenian atau penelitian. Ajaklah mereka ke objek pembelajaran nyata. Saya yakin mereka akan lebih enjoy. Lebih memiliki logika imajinasi yang nyata. Lebih merasakan. Lebih mengetahui secara rinci. Bisa menyentuh objeknya. Bisa memandang sampai pengamatan sendiri baik secara individu atau kelompok.
Siswa bukan kelinci percobaan. Mereka adalah ladang subur yang harus kita tanami sesuai dengan jenis tanah dan memberikan pupuk yang sepadan dan berkualitas. Tanaman itu namanya konsep yang benar. Pembelajaran yang benar. Setelah itu dibutuhkan pupuk yang namanya aplikasi nyata. Kerja nyata.
Inilah, pendidikan yang kita idam-idamkan. Pendidikan untuk pencerahan. Pendidikan yang kontekstual.
5 W + 1 H adalah alat bagi saya dalam mengajar. Kendaraan saya dalam mentransformasi ilmu ke siswa. Yang namanya alat atau kendaraan, berarti memiliki ketergantungan siapa yang menggerakkan dan siapa yang mengendarai. Saya merasa, konsep tersebut memiliki nilai tersendiri.
Dengan konsep 5 W + 1 H, saya merasakan, bahwa profesi guru adalah pekerjaan yang penuh tantangan tapi mengasikkan. Dan konsep itulah yang membawaku menjadi guru sampai sekarang ini.
Aku bangga menjadi guru. Kebanggaanku ini mungkin juga dirasakan ratusan bahkan oleh ribuan guru lainnya. Mudah-mudahan.


Biodata Penulis:
Nama                           : Ichwan Arif, S.S.
Guru                            : SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik
Mengajar                     : Bahasa Indonesia
No. Rekening              :  0487008083 Bank Syariah Mandiri Cabang Gresik
                                   







FILM DOKUMENTER “KETIKA GARAMKU MELUKIS NAMAMU” SEBAGAI MEDIA KREATIF PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA





FILM DOKUMENTER “KETIKA GARAMKU MELUKIS NAMAMU” SEBAGAI MEDIA KREATIF PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA

Ichwan Arif, S.S.*

SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik, Gresik
*ichwan-arief.blogspot.com
*ich.arif75@yahoo.com

Abstrak
Menurunnya apresiasi sastra bagi siswa merupakan indikasi lemahnya pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Kurikulum yang menekankan pada ilmu tata bahasa, sepertinya harus diarahkan kembali pada tata nilai apresiasi sastra. Hal ini sejalan dengan konsep pembelajaran bahasa Indonesia, yaitu membaca dan mengarang. Arah pembelajaran bahasa Indonesia haruslah mampu menjawab dan mengapresiasi diri peserta didik lebih konsisten dan terarah. Yaitu, memberikan nilai lebih pada tatanan kehalusan perasaan dan jiwa, nilai moral dan religius, dan sikap toleran. Selain itu,kemampuan membaca, merenung, dan menafsirkan kembali kehidupan, sehingga akan menciptakan karakter yang peduli. Media membelajaran Film Dokumenter ”Ketika Garamku Melukis Namamu” karya pribadi ini adalah salah satu solusi alternatif media pembelajaran apresiasi sastra. Media ini akan memberikan kemudahan-kemudahan pada siswa dalam pembelajaran. Siswa akan lebih mudah dalam mencari tema, menemukan pesan moral, menentukan latar/setting cerita, merangkai cerita/alur, memahami tokoh dan karakternya, sampai dengan melihat gaya bahasa dan karakter suasana dalam cerita. Model pembelajaran ini menekankan pada Belajar Berdasar Aktivitas (BBA) dan memberikan stimulasi pada siswa dalam penanaman konsep materi. Selain memberikan kemudahan dalam proses memahami isi cerita, media film dokumenter menawarkan 2 keunggulan lainnya, yaitu bentuk visualisasi dan durasi waktu cerita yang pendek. Hal ini akan membantu siswa dalam proses pemahaman, pemaknaan, mengalisis, dan apresiasi isi cerita dengan lebih efektif. Model pembelajaran apresiasi sastra dengan memanfaatkan media film dokumenter adalah salah satu langkah kreatif dan inovatif dalam meningkatkan kemampuan kognitif dan sekaligus memberikan sumbangsih pada tata nilai, khususnya olahpikir, olahhati, dan olahrasa pada diri siswa.

Kata kunci: Film Dokumenter, Kreatif, Apresiasi Sastra




Pendahuluan
Arah pembelajaran kita harus mampu mengakomodasi kebermaknaan dan kebermajuan peserta didik. Kebermaknaan adalah bagaimana siswa mampu menyerap dan mengaplikasi dengan mudah materi keilmuan yang didapat. Kebermajuan adalah peningkatan performance keilmuan. Untuk selanjutnya, mampu memberikan sumbangsih pada investasi kultural dalam pembentukan karakter.
Strategi pembelajaran bukanlah berorientasi pada tatanan yang instan dan spontan, yaitu hasil belajar. Hakikat dari cita-cita luhur pembelajaran harus mampu diraih. Olahhati, olahrasa, dan olahpikir harus menjadi arah yang jelas dalam ketercapaian maksud dan tujuannya.
Pembelajaran bahasa Indonesia semisal. Peta pembelajaran yang selama ini lebih menekankan pada segi linguistik, yaitu ilmu tata bahasa, sekarang harus mampu memberikan porsi lebih pada arah apresiasi sastra. Perubahan ini sangat mendasar dan beralasan. Kalau konsep pengolahan tata bahasa secara teoretik lebih ditekankan, maka hasil belajar hanya memproduk olahnilai/olahkognitif saja. Padahal, inti konsep pembelajaran bahasa Indonesia adalah membaca dan mengarang.
Diharapkan dengan memberikan porsi lebih pada pembelajaran apresiasi sastra, sama dengan kita berusaha mengapresiasi diri peserta didik lebih konsisten dan terarah. Yaitu, memberikan nilai lebih pada tatanan kehalusan perasaan dan jiwa, nilai moral dan religius, dan sikap toleran. Selain itu,  kemampuan membaca, merenung dan menafsirkan kembali kehidupan, mampu menciptakan karakter peduli pada diri siswa.
Belajar apresiasi sastra memerlukan metode dan strategi yang tepat. Bukan hanya memilih media, cara dan teknisnya, tetapi faktor menyenangkan harus diutamakan. Media, metode, atau strategi sebagus apapun kalau unsur menyenangkan tidak diperhatikan, siswa akan mengalami kejemuan dan apa akhirnya, metode klasik, ceramah, akan dilakukan oleh guru dalam pembelajaran.
Mempelajari materi apresiasi karya sastra sangat dibutuhkan media untuk mentransfer pemikiran-pemikiran atau ide-ide  yang ada dalam karya sastra. Media akan menjadi daya stimulasi dunia imajinasi yang ada dalam karya sastra untuk selanjutnya siswa melakukan analisis/apresiasi.
Sudjiman (1984) menyatakan bahwa kata apresiasi berasal dari kata “to appreciate“ yang artinya menilai secara tepat, memahami dan menikmati. Apresiasi sastra ialah kegiatan penghargaan terhadap karya sastra yang didasarkan atas pemahaman. Dalam Kamus Istilah Sastra, pengertian apresiasi sastra yaitu penghargaan atas karya sastra sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan dan peningkatan yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Film dokumenter yang berjudul ”Ketika Garamku Melukis Namamu” (untuk selanjutnya disingkat KGMN) salah satunya media kreatif yang bisa digunakan dalam model pembelajaran apresiasi sastra. Pemanfaatan media film dokumenter KGMN diharapkan memberikan kemudahan siswa dalam melakukan analisis unsur intrinsik karya sastra. Efek visual dan durasi cerita adalah salah satu keunggulan sehingga siswa lebih mudah menentukan tema, amanat, alur cerita/plot, tokoh dan penokohan, setting/latar, dan suasana cerita.
Menurut Mustikasi (2008),  media pembelajaran merupakan salah satu komponen pembelajaran yang mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar mengajar. Keberadaannya menjadi perantara guru dalam menyampaikan ide, pendapat, dan materi yang akan diajarkan kepada siswa.

Metode
Jenis penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan metode deskriptif. Peneliti mencoba melakukan penggambaran terhadap objek kajian yaitu unsur intrinsik karya sastra. Untuk selanjutnya, melakukan apresiasi sastra terhadap unsur-unsurnya, antara lain tema, amanat, alur cerita/plot, tokoh dan penokohan, setting/latar, dan suasana cerita.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran, penulis membuat rancangan penelitian, antara lain: (1) membuat rumusan masalah, bagaimana proses analisis unsur intriksik karya sastra, (2) tujuan penelitian, ingin mengetahui proses analisis unsur intrinsik karya sastra, (3) menentukan KKM dan instrumen pengumpulan data, (4) menentukan subjek, tempat, dan waktu penelitian, dan (5) hasil penelitian dan analisisnya.
Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif menggunakan kelas eksperimen dan kelas pembanding. Kelas VII B sebagai kelas eksperimen sedangkan VII A sebegai kelas pembanding. Pada kelas eksperimen, pembelajaran menggunakan media film dokumenter KGMN, sedangkan kelas pembanding menggunakan media teks karya sastra dalam menganalisis unsur intrinsik.
Kelas eksperimen dan pembanding adalah kelas yang memiliki kemampuan hampir sama. Hal ini dibuktikan dengan hasil prates yang dilakukan oleh penulis. Soal prates pada 2 kelas tersebut adalah soal esai dengan materi menganalisis karya sastra (cerpen). Penelitian pada kelas eksperimen dilaksanakan tanggal 15-19 Oktober 2012, sedangkan kelas pembanding dilakukan 22-26 Oktober 2012.
Setelah hasil prates diketahui, penulis membuat instrumen pengumpulan data, antara lain LKS, angket, dan wawancara. Lembar angket akan diberikan kepada siswa setelah proses pembelajaran selesai dilakukan. Sedangkan wawancara digunakan untuk mendalami hasil angkat.
Standar siswa dinyatakan tuntas secara klasikal jika siswa yang mendapat nilai 75 lebih dari atau sama dengan 85%. Sedangkan seorang siswa dinyatakan tuntas belajar pada pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu jika mendapat nilai minimal 75.
Film dokumenter KGMN merupakan film yang mulai dari tema, tokoh, skenario isi cerita, latar dan alurnya dibuat sendiri oleh penulis. Durasi film dokumenter KGMN adalah 11 menit, 18 detik. Media ini selanjutnya akan dimanfaatkan dalam proses belajar menganalisis unsur intrinsik.

Hasil
Dalam proses prates yang dilakukan pada kelas eksperimen dan pembanding, hasil yang didapat seperti yang tertera dalam tabel 1.

No
Kelas
Tuntas
Blm Tuntas
% Ketuntasan
1
Eksperimen
19
8
70
2
Pembanding
20
7
74
Dari data prates tersebut, kelemahan mendasar siswa dalam melakukan apresiasi karya sastra berbentuk cerpen adalah, pertama, siswa belum memahami unsur intrinsik sehingga dalam menjawab belum sempurna. Kedua, siswa masingh sangat dangkal dalam melakukan analisis karya sastra, sehingga isi cerita belum sepenuhnya dipahami dan dimengerti. Hal ini disebabkan proses pembacaan karya sastra yang belum maksimal. Siswa masih belum mampu menarik intisari dari analisis unsur intrinsik (tema, amanat, tokoh dan perwatakan, setting/latar, alur, dan suasana cerita).
Melihat beberapa kendala tersebut, penulis akan melakukan penelitian pada 2 kelas yang berbeda, kelas eksperimen dan pembanding. Pada kelas eksperimen pembelajaran menggunakan media film dokumenter KGMN dan kelas pembanding menggunakan media teks karya sastra.
Masing-masing kelas, eksperimen dan pembanding, penulis melakukan tahapan dalam proses pembelajaran, yaitu menjelaskan konsep materi analisis unsur intrinsik dan langkah-langkah dalam melakukan proses analisis unsurnya. Setelah proses menjelaskan, penulis membukan forum tanya jawab dan dialog interaktif. Hal ini dilakukan untuk proses komunikasi 2 arah antara penulis dengan siswa. Dasar langkah ini dilakukan adalah penulis ingin mengetahui apakah ada materi dan langkah kerja yang belum dipahami dan yang tidak dimengerti.
Langkah berikutnya, kelas eksperimen, setelah proses menjelaskan unsur intrinsik, menggunakan media film dokumenter KGMN sebagai objek kajian. Kelas pembanding menggunakan media teks cerpen “Robohnya Surau Kami” (selanjutnya disingkat RSK) karya A.A. Navis.
Setelah siswa di kelas eksperimen melihat tayangan film dokumenter dan analisis cerpen RSK pada kelas pembanding, mereka melakukan proses analisis unsur intrinsik, mulai dari tema, amanat, tokoh dan perwatakan, setting/latar, alur, dan suasana cerita. Hasil yang didapat ketika instrument pengambilan data berupa LKS diberikan kepada siswa pada 2 kelas tersebut, bisa dilihat dalam tabel 2, di bawah ini:

No
Kelas
Tuntas
Blm Tuntas
% Ketuntasan
  Rata Prestasi Belajar
1
Eksperimen
27
0
100
79
2
Pembanding
25
2
93
78

Untuk mendalami hasil LKS, penulis mengeluarkan angket yang berikan kepada siswa ketika pembelajaran selesai dilakukan, baik pada kelas eksperimen dan pembanding. Pertanyaan dalam angket isinya seputar penggunaan media film dokumenter KGMN dan media teks cerpen, yaitu semangat belajar, nyaman atau tidak, kemudahan dalam belajar, dan prestasi belajar. Hasil angkat yang didapat bisa dilihat dalam tabel 3 di bawah ini:

No
Kelas
Jml Skor Jawaban Ya
Persentase
1
Eksperimen
260
90
2
Pembanding
235
81

Hasil angket akan didalami dengan teknik wawancara. Pertanyaan wawancara kepada narasumber (siswa) seputar media pembelajaran film dokumenter, antara lain: pendapat peranan media, kemudahan dalam belajar, sampai dengan semangat belajar. Penulis mengambil 2 narasumber secara acak untuk dimintai pendapat tentang proses pembelajaran.
Dua puluh tujuh siswa di kelas eksperimen menyatakan bahwa penggunaan media film dokumenter lebih mudah dalam melakukan analisis isi cerita secara intrinsik. Mereka lebih mudah memahami alur isi cerita. Selain itu, faktor visualisasi, memberikan kemudahan-kemudahan dalam penggambaran sisi latar dan suasana yang membangun cerita.
Pada kelas pembanding, 2 narasumber yang diambil secara acak menyatakan bahwa media teks cerpen RSK kurang memberikan stimulasi dalam melakukan analisis unsur intrinsik. Menurut mereka, selain belum memahami isi cerpen RSK secara maksimal karena faktor membaca, mereka kurang memiliki semangat dan daya antusiasme dalam melakukan proses analisis. Hal ini ditandai dengan prilaku belajar, sambil lalu, kurang konsentrasi, dan kurang serius.
Pemerolehan data dari instrument LKS, angket, dan penelusuran melalui wawancara, membuktikan bahwa media film dokumenter KGMN dapat meningkatkan motivasi belajar. Stimulasi media kreatif tersebut mampu meningkatkan performance kompetensi belajar siswa.

Simpulan
Pemanfaatan film dokumenter KGMN sebagai media kreatif dalam pembelajaran apresiasi karya sastra pada materi analisis unsur intrinsik karya sastra memiliki beberapa keunggulan yang memberika kemudahakan siswa dalam melakukan proses belajar. Pertama, media film dokumenter bisa dijadikan stimulasi/daya rangsang belajar siswa dalam memahami isi cerita.
Kedua, faktor visualisasi film dokumenter memberikan kemudahan lebih pada siswa dalam melakukan analisis secara mendalam isi cerita. Mulai dari menentukan intisari dari tema, menemukan amanat/pesan yang terkandung dalam isi, melihat alur atau jalan cerita, menjelaskan karakter masing-masing tokoh, menentukan karakter latar dan suasana cerita.
Ketiga, film dokumenter sebagai media untuk membangkitkan motivasi belajar dan meningkatkan prilaku belajar yang lebih aktif dan menyenangkan.
Dengan pemanfaatan media film dokumenter, secara tidak langsung akan berpengaruh besar terhadap pencapaian kompetensi siswa dalam belajar. Hal ini dibuktikan dari rekap pemerolehan hasil belajar lewat instrumen pengambilan data berupa LKS.
Hasil angket dari siswa juga memberikan sinyal yang signifikan terhadap motivasi dan semangat belajar siswa yang mengalami grafik meningkat. Untuk mendalami peningkatan motivasi dan semangat belajar siswa dengan pemanfaatan media film dokumenter, hasil wawancara juga mempertegas bahwa media tersebut memiliki keunggulan-keunggulan yang mampu mempermudah siswa dalam belajar.

Referensi
Mustikasi, Ardiani. 2008. ”Mengenal Media Pembelajaran”.  http://edu-articles.com/mengenal-media-pembelajaran/
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta:Gramedia.