20 Jun 2017

Bingkai Wajah Jakarta dalam Satu Maghrib

Bingkai Wajah Jakarta dalam Satu Maghrib
Oleh: Ichwan Arif


    Film Jakarta Maghrib besutan sutradara Salman Aristo yang berdurasi 75 menit ini memiliki ‘keistimewaan’ dalam hal penceritaan. Lima segmen cerita, yang setiap cerita menawarkan konflik permasalahan sendiri-sendiri dengan setting yang sama, yaitu langit menjelang maghrib di Jakarta.
    Film yang rilis 4 Desember 2010 dengan mengusung para pemain, antara lain Indra Birowo, Widi Mulia, Asrul Dahlan, Sjafrial Arifin, Lukman Sardi, Ringgo Agus Rahman, Deddy Mahendra Desta, Fanny Febriana, Lilis, Reza Rahardian, Adinia Wirasti, dan Aldo Tansani ini memainkan peran pada masing-masing tautan cerita yang sebenarnya tidak memiliki benang merah secara cerita. Mereka menggunakan maghrib bukan sebagai fonomena latar religius tetapi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan kondisi masyarakat urban Jakarta.
    Kelima segmen cerita berjudul IMAN cuma ingin NUR, Adzan, Menunggu Aki, Cerita Si Ivan, Jalan Pintas, dan Ba’da. Salman Aristo menggunakan kelima cerita yang nantinya bermuara pada cerita Ba’da. Di mana pada segmen tersebut, semua pemain terlihat yang menyimbolkan betapa permasalahan di langit maghrib Jakarta begitu komplek.
    Film Jakarta Maghrib akan dilakukan analisis secara naratologi, yaitu secara cerita, perkataan, kisah, hikayat. Menurut Ratna (2015:128) bahwa naratologi adalah seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan. Konsep-konsep yang berkaitan dengan narasi dan narator.
    Dalam hal ini, analisis naratologi yang digunakan adalah naratologi yang diungkapkan oleh Gerard Genette. Menurut Ratna (2015:252) bahwa naratologi Gerard Genette memiliki landasan yaitu histoire dan récit. Histoire adalah seperangkat peristiwa, sebagai isi naratif. Dia mengacu pada esensi cerita atau teks yang ada di dalam pikiran pengarang  yang bersifat kronologis. Sedangkan récit adalah wacana atau teks naratif itu sendiri. Récit mengacu pada eksistensi kisah atau teks yang sampai kepada pembaca. Dari pemahaman tersebut di atas histoire kemudian dikenal sebagai cerita, dan récit sebagai penceritaan.


Jakarta Maghrib: Dari Iman Cuma Ingin Nur Sampai Bermuara di Ba’da
    Film ini tidak menyajikan glamornya Jakarta yang sering digunakan sebagai patokan cara hidup masyarakat modern, tetapi lebih ingin menyampaikan gemerlapnya ibu kota yang tidak bisa lepas dari problem sosial. Alur yang dipakai masing-masing cerita sangat mendukung pemahaman penonton terkaut dengan makna cerita film secara keseluruhan.
    Segmen cerita pertama yang dihadirkan sutradara berupa riuhnya cerita rumah tangga Iman dan Nur ketika mereka serumah dengan mertu. Kamar sempit yang dipakai latar cerita menjadi permasalahan pertama para tokoh. Imam, Nur, dan ibu mertua terjadi dialog singkat ketika maghrib yang menyebabkan Imam sedikit tersinggung lalu ke luar rumah. Keluar rumah tokoh Imam ini yang nantinya akan dilanjutkan pada segmen terakhir pada cerita.
    Seperti yang tertera dalam gambar alur cerita di bawah ini:

 

 

Keterangan:
  1. Iman dan Nur berdialog dan terdengar bayinya menangis tiada henti. Pasutri tersebut sedikit terganggu ketika ingin bercinta.
  2. Muncul ibunya Nur yang mengurungkan niat Iman dan Nur ketika ingin bercinta.
  3. Iman merasa kecewa dan pergi ke luar rumah
  4. Nur kembali mengurus bayinya.
Bagai alur di atas menunjukkan narasi yang dibangun antar tokoh sempat berhenti ketika tokoh Iman meninggalkan rumah setelah terlihat konflik dengan Ibu istrinya. Secara naratologi, cerita ini berhenti beberapa saat sehingga pemahaman penontoh dibiarkan mengambang, setelah itu imajinasinya kembali disuguhi cerita yang berbeda.
Pada bagian segmen kedua, penonton disuguhi kembali dengan cerita yang berbeda dengan segmen pertama, baik itu nama tokoh dan permasalahan cerita, sedangkan setting cerita sama, yaitu menjelang maghrib. Adalah Baung yang keseharian jadi preman, kakek (Babe) penjaga warung, dan anak yang  dipalak oleh baung. Cerita tersebut berjudul Adzan.
Cerita disusun awal ketika Baung mempalak anak, setelah itu uang tersebut dipakai untuk beli rokoh dan kopi di warung Babe yang berdekatan dengan musholah. Di sinilah mulai terjadinya konflik batin yang dibangun melalui dialog antara Babe dan Baung. Sampai, pada akhirnya Babe digambarkan pingsan dan meninggal sebelum beliau mengumandangkan adzan maghrib.
Secara naratologi, alur cerita bisa digambarkan seperti di bawah ini:
 
 



Keterangan:
  1. Terlihat Babe menjual jajanan kecil, rokoh, dan kopi
  2. Baung sedang memalak anak
  3. Baung menuju ke warung kopi, membeli rokok dan kopi
  4. Perbincangan antara Baung dan Babe
  5. Babe pinsan dan meninggal
  6. Baung mengganti Babe untuk mengumandangan adzan di mushollah
  7. Warga berbondong-bondong ke mushola, siap memukul Baung
Konflik memuncak, antara Baung dan warga sekitar adalah ketika dia mengumandangan adzan maghrib dengan logas agak sedikit aneh, tidak seperti biasanya. Kejadian inilah yang memicu dengan warga berbondong-bondong membawa pemukul menuju musholah.
Seperti cerita di segmen pertama, di segmen kedua inila, sutradara juga menggantung ending cerita sehingga mereka terlihat menasaran akhir ceritanya bagaimana. Alur cerita berhenti ketika warga berbondong-bondong menuju musholah.
Menunggu Aki, adalah cerita pada segmen ketiga yang duhadirkan oleh Salman Aristo. Cerita yang diperankan Lukman Sardi, Ringgo Agus Rahman, Deddy Mahendra Desta, Fanny Febriana, Lilis menggambarkan kehidupan masyarakat urban yang tinggal di Jakarta. Sangat terlihat dengan jelas, bagaimana warga perumahan yang sangat indivualis. Mereka tidak sama kenal walaupun tembok rumahnya berhimpitan satu sama lain.
Cerita diawali dengan penggambaran mobil yang sedang parkir di salah satu rumah di perumahan. Sedikit kesulitan untuk memparkir mobil karena jalan terlalu sempit. Setelah itu, alur cerita dimunculkan ketika beberapa orang dalam perumahan tersebut sama-sama sedang menunggu Aki, sang penjual nasi gorengan yang sangat terkenal di rumahan tersebut.
Pertemuan kelima tokoh yang duduk-duduk di gazebo perumahan muncullah dialog-dialog ‘masyarakat urban’ sekali. Semisal, mereka saling kenalan, menceritakan kerjaanya di mana, gaduh yang terjadi di perumahan, sampia dengan menceritakan kenikmatan nasi goreng Aki.
Hal ini bisa digambarkan dalam alur cerita di bawah ini:
 
 




Keterangan:
  1. Mobil sedang kesulitan parkir karena jalanan sempit
  2. Lukman Sardi dan Ringgo menunggu Aki di luar rumah
  3. Disusul warga lain juga sedang menunggu Aki (penjual nasi goreng) di gazebo perumahan
  4. Lima tokoh sedang berbincang sambil menunggu Aki

Alur cerita yang dialami para tokoh cerita menggunakan alur maju. Alur ini untuk menggambarkan bagaimana para tokoh sedang menunggu Aki, penjual nasi goreng. Bagaimana sutradara ingin menggambarkan kehidupan masyarakat urban yang ada di perumahan wilayah Jakarta. Warga tidak saling kenal, tidak ingin mengurusi orang lain, sibuk dengan dunia atau pekerjaannya.
Seperti kedua segmen yang sudah ada, pada cerita Menunggu Aki pun sama, sutradara menggantung ending cerita. Penutup cerita ini nantinya bukan diserahkan pada penonton karena penonton harus menunggu beberapa saat supaya mengerti dan paham akhir cerita.
    Pada segmen cerita selanjutnya, Cerita Si Ivan menjadi bagian berikutnya. Pada segmen cerita ini diawali Ivan yang masih memakai seragam sekolah mendatangi persewaan playstation, ketika menjelang maghrib. Dia sangat kecewa karena semua playstation semuanya sudah penuh. Untuk bisa memakai salah satu playstation, dia pun menggunakan jurus menakut-nakuti teman-temannya tentan hantu. Menjelang maghrib biasanya hantu gentayagan dan akan menakut-nakuti anak-anak. Jurus inipun manjur.
Hal ini bisa digambarkan dalam alur cerita di bawah ini:
 
 




Keterangan:
  1. Ivan masih memakai seragam sekolah menuju ke tempat persewaan playstation
  2. Ivan kecewa karena playstation sudah penuh
  3. Ivan menakut-nakuti pada anak-anak yang menggunakan playstation tentang hantu
  4. Setelah anak-anak takut, Ivan menggunakan playstation
  5. Ivan juga merasa ketakutan menjelang maghrib
  6. Ivan tergesa-gesa pulang dan tersesat di kebun
Alur maju yang terdapat dalam cerpen ini berlangsung ketika Ivan merasa ketakutan dan meninggalkan tempat persewaan playstation. Merasa ketakutan, dia langsung lari terbirit-birit menuju kebun untuk pulang ke rumah. Sial bagi Ivan, dia ternyata tersesat ketika menjelang maghrib. Ketakutan semakin menjadi, dia pun menangis ketika melihat bendera putih yang terikat di pohon. Menurut dia ada pocong yang menghantui dia.
Pada segmen keempat, sutradara menghadirkan cerita yang berjudul Jalan Pintas. Reza Rahardian dan Andinia dijadikan tokoh utama dalam cerita yang dibangun di atas roda mobil. Untuk menuju ke tempat persiapan pernikahan saudara, mereka menggunakan mobil. Supaya bisa sampai dengan cepat dan tidak terjebak macet, Reza pun membelokkan arah setir menunggu gang-gang supaya  bisa cepat dan terhindar dari kemacetan.
Bukan persiapan pernikahan saudara yang menjadi bahan konflik antara keduaya, tetapi masalah hubungan statur pacaran mereka. Andinia mempertanyakan kembali komitmen Rena untuk menikahinya. Reza pun hanya menanggapi kurang serius dan ragu-ragu.
Hal ini bisa digambarkan dalam alur cerita di bawah ini:
 



Keterangan:
  1. Perjalanan sepasang kekasih ke persiapan pernikahan saudara
  2. Dialog antar tokoh, Andinia mempertanyakan komitmen pada kekasihnya
  3. Reza memilih jalan pintas arah mobilnya menuju gang supaya terhindar dari kemacetan
  4. Arus mobil mengalami kemacetan ketika melewati gang
  5. Perdebatan semakin seru karena Reza tidak memberikan kepastian tentang hubungan/status pacarannya
  6. Karena kesal terhadap Reza, Andinia pun meninggalkan mobil
Alur maju yang dijalankan Reza dan Andinia di atas mobil menggambarkan bagaimana konflik keduanya semakin meninggi. Meningginya konflik, menyebabkan Andinia meninggalkan Reza di mobil sendirian. Secara alur, cerita ini menggunakan pondasi konflik 3 hal. Pertama, kemacetan yang dialami di gang-gang perkotaan. Kedua, Andinia mempertanyaankan komitmen terhadap Reza. Ketiga, Andinia meninggalkan Reza sendiri di dalam mobil.
    Ketiga konflik yang berjalan dalam narasi inilah yang menjadi kemenarikan cerita ini. Penggambaran yang dilakukan dalam segmen cerita ini mencoba memotret permasalahan masyarakat kota, yang lengkap dengan kemacetan dan konflik individu.
    Ba’da dipilih oleh sutradara sebagai titik temu dari keempat cerita yang dibangun mulai cerita ini awal disuguhkan pada penonton. Pada bagiana cerita ini, penonton akan diberikan akhir dari semua cerita yang sejak awal digantung oleh sutradara.
    Ba’da dijadikan sebagai titik terang, ke mana semua tokoh, mulai dari Iman, suara Baung, Aki si tukang nasi goreng, Ivan, dan arah mobil yang dikendarai Reza sendirian. Titik temua semua tokoh lebih mempermudah penonton bahwa keluarnya Iman itu ke mana? Bagaimana ‘merdunya’ adzan yang dikumandangakan Baung? Bagaimana keadaan Ivan setelah dia tersesat di kebun? Di mana posisi Aki yang ditunggu beberapa orang di perumahan? Serta, di mana arah mobil yang dikendarai Reza.
Dalam segmen Ba’da, bisa digambarkan melalui alur sebagai berikut:
 



Keterangan:
  1. Suara adzan terdengar di langit maghrib
  2. Aki penjual nasi goreng terlihat mendorong gerobak nasi gorengnya
  3. Iman sedang memesan nasi goreng
  4. Ivan terlihat menangis dan ditemukan ayahnya di depan rombong nasi goreng
  5. Mobil Reza melintas di depan rombong nasi goreng
Pada segmen kelima ini, penonton akan diberikan semua oleh sutradara tentang pertanyaan-pertanyaan yang menggantung, mulai segmen pertama sampai keempat. Inilah yang mempermudah titik temu dan titik terang semua ending cerita.
Pelipur lara Iman terhenti di gerobak Aki. Ivan menangis karena ketakutan saat dia tersesat. Di mana saja Aki yang sangat dinanti kelezatan nasi gorengnya warga perumahan.
Muara semua alur cerita bermuara pada segmen cerita Ba’da. Artinya, semua cerita berhenti setelah adzan maghrib selesai dikumandangkan oleh Baung di mushilah. Maghrib menjadi satu-satunya latar waktu yang digunakan oleh sutradara dalam membangun semua cerita.
Alu kelima segmen cerita bisa digambarkan dalam bagan alur di bawah ini:

 

 









    Gambar di atas menggambarkan bahwa segmen cerita yang berjudul Ba’da menjadi muara akhir dari semua serita. Cerita ini juga menjadi titik terang dari pertanyaan yang sempat menggantung yang dialami oleh penonton selama segmen cerita awal sampai akhir.
    Pada cerita akhir menjadi sangat terang pada awal cerita Ba’da. Semua tokoh yang terdapat dalam setiap segmen terlihat yang selama ini ada tanda tanya. Pada cerita Ba’da, semua terlihat terang. Langit maghrib menjadi satu setting di mana semua inti cerita.
    Film Jakarta Maghrib merupakan gambaran atau potret masyarakat urban Jakarta ketika sedang menjalani ‘rutinitas’ sebelum malam menjelang. Langit maghrib tidak lagi dipandang dari sisi religius, tetapi permasalahan kehiduapan perkotaan menjadi sangat kentara dan menjadi ‘pembiasaan’ bagi masyarakatnya.
.
Daftar Pustaka


Ratna, Nyoman Kutha. 2015. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.