12 Jun 2017

Hermeneutik: Antara Tugas Produksi, Konsep Partisipasi dan Keterbukaan, sampai Kebenaran Bahasa Itu

Hermeneutik: Antara Tugas Produksi, Konsep Partisipasi dan Keterbukaan, sampai Kebenaran Bahasa Itu

Oleh: Ichwan Arif

Abstraksi

HERMENEUTIK: ANTARA TUGAS PRODUKSI, KONSEP PARTISIPASI DAN KETERBUKAAN, SAMPAI KEBENARAN BAHASA ITU
Kata Kunci: Hermeneutik, Tugas Produksi, Konsep Partisipasi dan Keterbukaan, dan Kebenaran Bahasa  

Hermeneutik sebagai sebuah metode yang berguna dalam mendukung pemahaman tentang kebenaran dan interpretasi secara filosofis. Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari  bahasa Yunani hermeneuo atau hermeneuein yang mempunyai pengertian mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, atau bertindak sebagai penafsir.

Kunci pemahaman hermeneutik adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut.  Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca.

Awal dan pertengahan abad kedua puluh, perkembangan hermeneutika, terutama hermeneutika yang dirumuskan oleh Hans Georg Gadamer, berkembang dengan pesat sebagai metode penafsiran, baik dalam cara analisisnya maupun objek kajiannya.

Salah satu kesulitan yang akan kita hadapi bila akan menafsirkan suatu teks dari masa silam adalah ‘jarak waktu’ yang membentang antara kita dan zaman teks  itu ditulis.  Latar belakang budaya dan sejarah pengarang tidak sama dengan situasi budaya dan sejarah kita sebagai pembaca. Dalam menafsirkan teks-teks kuno, dunia pengarang dan dunia pembacanya sedemikian berbeda dan berjauhan satu sama lain. Struktur-struktur yang mengkondisikan pengarang tidak dapat kita pastikan dan tidak dapat kita buktikan.

Hermeneutik adalah sebuah metode penafsiran yang sangat terbuka, membongkar kemapanan, dan bersifat relatif-absulot. Dalam perspektif hermeneutik tidak ada lagi yang bisa mengklaim kebenaran suatu penafsiran, semua kebenaran harus diukur dalam konteks dialektika zaman, tempat, kondisi historis dan sosiologis serta faktor-faktor subjektif seperti psikologis dan semua variabel lainnya yang unlimited.



Pengantar
    Dewasa ini para filosuf kontemporer berusaha menghidupkan kembali topik tentang hermeneutik sebagai suatu yang menarik dalam bidang filsafat. Hermeneutik sebagai sebuah metode memang belum berlaku secara universal, tetapi metode ini tetap berguna mendukung pemahaman tentang kebenaran dan interpretasi secara filosofis.
    Dalam makalah ini penulis bermaksud menyingkap tentang konsepsi-konsepsi hermeneutik dari tokoh-tokoh penting yang dapat dipandang sebagai peletak dan pengembang hermeneutik dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora modern. Beberapa tokoh yang dikaji pemikirannya adalah: Friedrich Schleiermacher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1889-1938), Martin Heidegger (1844-1976), Hans-Georg Gadamer (1900-2002), Jurgen Habermas (1929), Paul Ricoeur (1913), dan Jacques Derrida (1930)
    Walaupun hermeneutik umumnya lebih banyak berkaitan dengan analisis linguistik-gramatikal (kebahasaan), namun pendekatannya cukup variatif dari masing-masing pengajurnya. Karena itu tulisan ini menekankan pada pemahaman konsep hermeneutika tokoh-tokoh di atas, di samping itu yang lebih penting adalah memahami bagaimana memanfaatkan cara kerja hermeneutik sebagai model cara berpikir filosofis dari berbagai aliran hermeneutika tersebut.

Lahir dari Problematika Teks
    Kata hermeneutik atau hermeneutika adalah peng-Indonesiaan dari kata kerja hermeneutics. Kata ini berasal dari  bahasa Yunani hermeneuo atau hermeneuein yang mempunyai pengertian mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, atau bertindak sebagai penafsir.
    Kata bendanya adalah hermeneia yang berarti ‘penafsiran’ atau ‘interpretasi’. Dalam bahasa Inggris menjadi hermeneutics (to interpret) yang berarti menginterpretasi, menjelaskan atau menerjemahkan. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama seorang dewa Yunani, Hermes yang dianggap sebagai utusan para dewa bagi manusia. Hermes adalah utusan para dewa di langit untuk membawa pesan kepada manusia.
    Lahirnya hermeneutik, manakala kita dihadapkan problematik saat menghadapi dengan teks-teks. Manakala kita sedang membaca sebuah teks dari seorang pengarang yang kita kenal baik yang hidup sezaman dengan kita, kita tak akan menghadapi kesulitan memahami kalimat-kalimat dan kata-kata ataupun istilah-istilah  khusus yang termuat di dalam teks tersebut.
    Ketidakjelasan makna teks dapat diatas secara lisan oleh pengarangnya, bila ia masih hidup, atau oleh pemahaman kata-kata, kalimat-kalimat dan terminologi khusus yang memang sudah dikenal pada zaman kita ini. Apa yang tertulis dalam teks itu dapat ditangkap secara kurang lebih ‘lurus’ dari makna yang dimaksud pengarangnya.
    Persoalannya jadi lain, bila teks yang kita baca berasa dari zaman dahulu. Kontak kita dengan pengarangnya terputus oleh sebuah rentang waktu yang panjang sehingga kata-kata, kalimat-kalimat, dan terminologi-terminologi khusus dalam teks itu sulit kita pahami atau akan kita salahpahami. Di sini kita berusaha keras untuk menangkap makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya. Kita menghadapi problematik otentisitas makna teks.
    Maka muncullah ‘pendekatan’ hermeneutik. Bagaimana kita melakukan penafsirkan pada teks, baik itu berhubungan dengan bidang sastra, tradisi-tradisi religius (kita-kitab suci, doktrin-doktrin, atau hukum-hukum), bidang hukum, ilmun sejarah (prasasti, dokumen-dokumen kuno, dan sebagainya), musikologi, politikologi, dan sebagainya.
    Oleh karena itu, pemahaman secara hermeneuti akan membantu dan bermanfaat untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap objek-objek budaya masa lalu atau tradisi berserta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya.

Melihat Jasa Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher sampai Jacques Derrida
Tokoh-tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika, yaitu:
  1. Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834)
Tokoh hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.

  1. Wilhelm Dilthey (1833 -1911)
Tokoh hermeneut ika metodis, berpendapat bahwa proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian mengekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.

  1. Edmund Husserl (1889 -1938),
Tokoh hermeneutika fenomenologis, menyebutkan bahwa proses pemahaman yang  benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Oleh sebab itu, menafsirkan sebuah teks berarti secara metodologis mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias-bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri pada subjek.
  1. Martin Heidegger (1889 -1976)
Tokoh hermeneutika dialektis, menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
  1. Hans-Georg Gadamer (1900 -2002)
Tokoh hermeneutika dialogis, baginya pemahaman yang benar adalah pema haman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
  1. Jurgen Habermas (1929)
Tokoh hermeneutika kritis, menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur kepentingan politik, ekonomi , sosial , suku, dan gender.
  1. Paul Ricoeur (1913)
Tokoh yang membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya.
  1. Jacques Derrida (1930)
Tokoh hermenutika dekonstruksionis, mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Makna  teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.


Hermeneutik: Antara Konsep Partisipasi dan Keterbukaan
    Metode hermeneutik dalam Eagleton (2006:104-105) menjelaskan bahwa setiap elemen dalam setiap teks menjadi satu keseluruhan yang lengkap, dalam sebuah proses yang biasa dikenal sebagai lingkaran hermeneutik. Ciri-ciri individual dapat dimengerti berdasarkan keseluruhan konteks, dan keseluruhan konteks dapat dimengerti melalui ciri-ciri individual
    Kunci pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan, bukan manipulasi dan pengendalian. Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika tidak hanya memandang teks, tetapi juga berusaha menyelami kandungan makna literalnya. Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison-horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut.  Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca.
    Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami
    Dengan kata lain, hermeneutika dalam Rahardjo (2007: 90-91) memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.

Hans Georg Gadamer dan Batasan Hermeneutika
    Awal dan pertengahan abad kedua puluh, perkembangan hermeneutika, terutama hermeneutika yang dirumuskan oleh Hans Georg Gadamer, berkembang dengan pesat sebagai metode penafsiran, baik dalam cara analisisnya maupun objek kajiannya. Menurut Ahmala dalam tulisannya yang berjudul Hermeneutik: Mengurai Kebuntuhan Metode Ilmu-Ilmu Sosial (Mulyono, 2013:20-24), terdapat 6 batasan hermeneutik yang masing-masing merefleksikan perkembangnya, yaitu:
  1. Hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci
Hermeneutik pada pengertian paling awal banyak dikenal sebagai penafsiran kitab suci. Dari istilah itu muncul adanya justifikasi historis. Hermeneutik adalah metodologi yang dipakai dalam ber-eksegese (komentar-komentar aktual atas teks). Eksegese memuncukan permasalahan hermeneutik karena setiap pembacaan kembali sebuah teks selalu mengambil tempat di dalam suatu komunitas tertentu.

  1. Hermeneutik sebagai metodologi filologi
Ketika filologi klasik berkembang pada abad pencerahan, pada saat itu pula terjadi perkembangan besar dalam penafsiran kitab suci (Bibel). Metode hermeneutik kitab suci menjadi tidak berbeda dengan teori penafsiran teks lain, yakni filologi klasik. Metode-metodenya harus mengacu pada kerangka acyan metidegis penafsiran filologis (teks profan)

  1. Hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik
Eksistensi hermeneutik sebagai sebuah ilmu atau seni pemahaman. Hemeneutik bergerak sebagai suatu ilmu yang mendeskripsikan kondisi-kondisi bagi suatu pemahaman di dalam semua dialog. Hasilnya adalah hermeneutik umum yang prinsip-prinsipnya dapat menjadi dasar bagi semua bentuk interpretasi teks. Hal ini menadai berawalnya hermeneutik nondisipliner yang signifikan.

  1. Hermeneutik sebagai dasar metodologis ilmu-ilmu sejarah
Hermeneutik pada dasarnya bersifat menyejarah. Artinya, makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada  suatu masa saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Sehingga interpretasi pun seperti benda cair yang tidak pernah ada suaru kanon atau aturan untuk interpretasi. Hermeneutik sebagai dasar metodologis ilmu-ilmu sejarah dapat dilihat dan dipahami dengan 3 proses. Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para pelaku asli. Kedua, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan-gagasan yang berlaku pada saat sejarawan itu hidup. Semua peristiwa sekarah harus diinterpretasi ulang dalam setiap generasi.

  1. Hermeneutik sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial
Hermeneutik yang tidak terikat dengan ilmu atau peratiran intertekstual teks, dan juga tidak terkait dengan metodologis bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan pengungkapan fenomenologis dari cara beradanya manusia sendiri. Pemahaman dan penafsiran adalah bentu-bentu eksistensi manusia.

  1. Hermeneutik sebagai sistem penafsiran
Hermeneutik adalah proses penguraian yang bertlak dari isi dan makna yang tampak, kepada makna yang tersembunyi. Objek interpretasi adalah teks dalam pengertian yang luas yang mencakup simbol-simbol, mimpi, mitos dan simbol masyarakat atau literatur. Hermeneutik ingin membongkar kendala-kendala hermeneutis dalam mitos dan simbol, serta secara reflektif mensistematisasi realitas di balik bahasa, simbol, dan mitos.

F. Bentangan Jarak Waktu dan Tugas Produksi
    Salah satu kesulitan yang akan kita hadapi bila akan menafsirkan suatu teks dari masa silam adalah ‘jarak waktu’ yang membentang antara kita dan zaman teks  itu ditulis.  Latar belakang budaya dan sejarah pengarang tidak sama dengan situasi budaya dan sejarah kita sebagai pembaca. Dalam menafsirkan teks-teks kuno, dunia pengarang dan dunia pembacanya sedemikian berbeda dan berjauhan satu sama lain. Struktur-struktur yang mengkondisikan pengarang tidak dapat kita pastikan dan tidak dapat kita buktikan.
    Meskipun demikian, kita perlu menginsyafi bahwa suatu idnetifikasi total dengan pengarang teks adalah mustahil. Hermeneutik romantik, Schleiermacher dan Dilthey, berusaha mencapai identifikasi ini, sehingga menafsirkan teks merupakan tugas reproduktif: menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat empati dan rekonstruksi.
    Gadamer memperlihatkan bahwa pandangan ini tidak tepat. Ia melihat menafsirkan teks sebagai tugas produksi atau tugas kreatif: kita justru membiarkan diri mengalami perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang dan dengan cara ini pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga.
    Pendapat hermeneutik kontemporer itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Bila kita sedang menafsirkan sebuah kata, kita cukup pergi untuk mencari artinya dari kamus. Tetapi pemahaman makna kata dalam sebuah teks kuno bukanlah hal yang mudah. Menurut Hardiman, dalam tulisan di Majalah Basis edisi XXXVII No. 6 (1983), pengarang bisa jadi mempunyai pengandaian-pengandaian yang berbeda dari pengalaman-pengalaman kita sendiri, sehingga makna itu tidak seperti yang kita duga. Objek pemahaman kita, kata kuno itu, berada di luar kategori pemikiran kita, maka kita harus memeriksa kembali pra-paham kita sendiri.
    Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi: kita berpegang teguh pada pra-paham kita dan menolak pemahaman baruyang tak terduga; atau pertentangan antara pengandaian pengarang dan pengandaian kita itu justru menyebabkan kita mempertanyakan pra-paham kita dan dengan cara itu justru memperkaya pemahaman kita.
    Dengan kata lain, perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang bila kita hadapi secara produktif, kreatif dan terbuka, justru akan memberi kita pengetahuan yang mengejutkan. Dengan demikian, jarak waktu tidak menghambat untuk mempermiskinkan pemahaman kita, justru memperkaya pengetahuan kita, asalkan tuga menafsirkan teks tidak dihadapi sebagai tugas reproduksi melainkan tugas produksi. Suatu teks perlu dipahami dalam cakrawala masa lampau, dan masa depan, demi manfaatnya untuk masa kini.
Hermeneutik dan Kebenaran Bahasa
    Pada dasarnya, hermeneutik berhubungan dengan bahasa dalam arti yang amat luas. Aktivitas berpikir, membuat interpretasi, berbicara, menafsirkan, menulis, melukis dan lain sebagainya melalui bahasa. Karena berbahasa selalu melibatkan penafsiran kehendak batin, maka tidaklah semua yang kita ucapkan selalu berhasil mempresentasikan seluruh isi hati, pikiran, dan benak kita. Kebenaran sebuah bahasa bukan semata terletak pada susunan gramatikanya saja, makna tidak bersemayam pada kata, tetapi juga pada tata pikir, intensi dan implikasi dari sebuah ucapan.
    Peran hermeneutik sebagai metode berpikir falsafi, radikal, dan ilmiah berupaya mencari kebenaran ilmu dengan cara mencari makna dari susunan kalimat, dari konteks budaya, dari tafsir transendensi, dan pendekatan lainnya sebagai jejaknya. Para tokoh hermeneutik memiliki metode atau cara kerja masing-masing yang mereka anjurkan guna melacak jejak “teks” tersebut untuk menangkap seluruh makna teks bacaan, dari yang nyata dan yang tersembunyi, dari yang terungkap dan tak terungkapkan.
    Hermeneutik adalah sebuah metode penafsiran yang sangat terbuka, membongkar kemapanan, dan bersifat relatif-absulot. Dalam perspektif hermeneutik tidak ada lagi yang bisa mengklaim kebenaran suatu penafsiran, semua kebenaran harus diukur dalam konteks dialektika zaman, tempat, kondisi historis dan sosiologis serta faktor-faktor subjektif seperti psikologis dan semua variabel lainnya yang unlimited.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar