9 Jun 2017

Objek Material dan Objek Formal Ilmu Sastra dan Budaya

Objek Material dan Objek Formal Ilmu Sastra dan Budaya
Oleh: Ichwan Arif

Sekapur Sirih
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan dengan kekayaan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan diaplikasi oleh manusia dalam menjaga eksistensi diri dengan lingkungan. Mulai dari ilmu pengetahuan sains, agama, maupun filsafat. Filsafat, dalam pemahaman dan perkembangan, adalah roh dari ilmu pengetahuan. Di dalam ada sumber-sumber kelogisan yang akan diberikan.
Salah satunya adalahnya adalah kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Menurut Richard E. Porter dalam buku Komunikasi Antarbudaya (1989: 19) menyatakan bahwa budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut meniru budayanya. Dengan kebudayaan pula, manusia bisa mengekspresikan dirinya secara ajeg, baik untuk diri sendiri, orang lain, dan juga masyarakat serta lingkungannya.
Bagaimana selanjutnya, hubungan budaya, sastra, dan filsafat?
Sastra adalah produk dari kebudayaan. Dengan imajinasi yang coba dinarasikan maupun dideskripsikan oleh pengarang dalam karyanya. Filsafat dan sastra, menurut penulis, sama-sama memiliki pijakan yang sama, yaitu realitas/kenyataan. Realitas atau kenyataan yang ada di sekitar coba dihadirkan dalam pola pikir-pola pikir secara dialogis. Sastra pun demikian. Pengarang melalui pencitraan yang dimiliki coba merekam dan coba ditransformasikan dalam karya-karyanya. Baik dalam bentuk puisi, cerpen, novel, roman, maupun drama/teater.
Objek Material dan Objek Formal Ilmu Sastra dan Budaya
Dalam buku Filsafat Ilmu yang ditulis Tim Dosen Filsafat Ilmu, Fakultas Filsafat, Universitas Gadja Mada (2003:17) menyatakan pengertian filsafat sebagai usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya. Bidang filsafat sangat luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau oleh pikiran.
Dalam Suriasumantri (2010:33), filsafat ilmu dinyatakan dapat dipelajari tidak hanya untuk ilmu pengetahuan alam, tetapi juga ilmu sosial-budaya. Dalam hal  ini, filsafat ilmu menjawab permasalahan yang mengkaji hakikat keilmuan (khususnya sastra dan budaya) dan merupakan bagian dari epistemologi. Sehingga, ilmu sastra dan budaya dapat ditelusuri permasalahannya melalui induk filsafatnya.
Hal senada juga disampaikan Surajiyo (2008:46) menyatakan bahwa filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua karakter. Pertama, filsafat ilmu dalam artian universal: menampung permasalahan yang menyangkut hubungan ke luar dari kegiatan ilmiah (implikasi metafisik-ontologik dari identitas dunia yang bersifat ilmiah). Kedua, filsafat ilmu dalam artian sempit: menghimpun semua permasalahan yang dikategorikan dengan disiplin ilmu tertentu saja (sifat pengetahuan ilmiah dan metode untuk mencapai pengetahuan ilmiah).
    Dari penjelasan di atas, sastra dan budaya adalah  dua bidang ilmu kajian yang membahas permasalahan yang dialami oleh manusia. Maka, kajian sastra dan budaya dibagi menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal.
Objek material lebih menjurus kepada sifat yang konkret (seperti makhluk hidup dan benda mati) maupun abstrak (keyakinan dan nilai-nilai/moral), sedangkan objek formal lebih menekankan pada sudut pandang, seperti ilmu kedokteran, sains, dan sosial-humaniora.
  1. Objek Material dan Objek Formal Kajian Sastra
Menurut Rudolf Unger dalam Wellek dan Warren (1990: 141-142) menyatakan bahwa kajian sastra terdapat objek material maupun objek formalnya. Objek material sastra meliputi karya-karya sastra itu sendiri, yakni novel, teks drama, puisi, cerpen, teks kuno, hingga esai. Sementara, untuk objek formalnya meliputi kajian strukturalisme sastra, sosiologi sastra, psikoanalisa, semiotika, antropologi sastra, filologi, hingga yang termutakhir, sastra kontemporer.
Lebih lanjut menurut Rudolf Unger, bahwa kajian sastra dapat dikatakan sebagai bagian dari hal yang universal apabila permasalahan yang diciptakan oleh seorang pengarang menyentuh permasalah yang dialami oleh manusia. Melingkupi hampir semua bidang keilmuan, utamanya filsafat. 
Menurut Pradopo (2007: 207) bahwa karya sastra tidak bermakna apabila tanpa pembaca yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai dua penilaian, yaitu baik dan buruk. Nilai baik di sini masih beragam sudut pandang, dari sudut mana pembaca tersebut menilai, dan tentunya juga dipengaruhi oleh latar belakang pembaca sendiri. Karya sastra itu buruk juga karena pembaca mempunyai berbagai pandangan dan latar belakang masing-masing.
Karya sastra melahirkan berbagai spekulasi pemikiran yang mencoba menjelaskan eksistensi sastra sebagai sebuah ilmu. Ilmu sastra tidak dapat diartikan sebagai karya yang fiktif dan imajinatif, melainkan karena sastra menguraikan bahasa dengan cara yang unik.  Umar Junus dalam tulisannya berjudul Karya Sastra sebagai Suatu Renungan, dalam buku Sejumlah Masalah Sastra, dalam buku karya Satyagraha Hoerip (1986:195) menyatakan bahwa karya sastra ada hakikatnya mungkin merupakan suatu reaksi terhadap suatu keadaan.

  1. Objek Material dan Objek Formal Kajian Budaya
Berbeda dengan kajian sastra, objek material dan objek formal dari kajian ditinjau dari sudut ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang memiliki perannya masing-masing. Pujaastawa (2013) menjelaskan bahwa aspek ontologi, kajian budaya adalah  kebudayaan sebagai fakta atau realitas (fenomena empiris). Ruang lingkup dari aspek ontologi di sini diantaranya, negara dan kebijakan sosial, kontrol sosial, budaya pop, analisis wacana, media massa, gender, psikologi sosial, sosiologi pendidikan, organisasi sosial, metode penelitian, ras dan etnisitas, politik, dan politik mikro
Barker (2005: 5-10) menjelaskan, secara aspek epistemologi, kajian budaya mengkomposisikan berbagai kajian teorites disiplin ilmu lain yang dikembangkan secara lebih longgar sehingga mencakup model-model tertentu dari teori yang sudah ada dari para pengikut paham strukturalis maupun pascastrukturalis.
Secara universal, kajian budaya memiliki unsur-unsur pondasi kebudayaan bagi manusia dimana pusat dari semua unsur tersebut adalah nilai-nilai budaya. Untuk menentukan sifat dan corak dari pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku manusia suatu kebudayaan, maka munculnya sebuah gagasan yang pada akhirnya menghasilkan berbagai benda (objek) yang diciptakan manusia berdasarkan nilai-nilai, pikiran, dan tingkah lakunya.
Secara sistematis, kajian budaya memiliki cara analisa yang sudah disusun sedemikian rupa berdasarkan karakteristik yang terbentuk menjadi suatu metode penelitian kajian budaya. Pada dasarnya, metode yang digunakan dalam kajian budaya adalah metode interpretatif dan metode konstruktivis.
Filsafat sebagai Pisau Bedah Kritik Ideologi
Umat manusia dengan alam pikirannya selalui berkeinginan untuk menciptakan inovasi baru yang pada akhirnya timbul dampak signifikan bagi umat manusia itu sendiri dan lingkungannya. Tidak salah apabila para filsuf sejak dulu sudah memprediksi apabila ilmu pengetahuan akan semakin berkembang setiap eranya dan menyampingkan urusan agama.
Fenomena tersebut membuktikan bahwa kita sebagai umat manusia akan terbawa ke masa depan umat manusia yang lebih kompleks dan tentunya akan berbeda. Sebagai contoh hubungan antara ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan kebudayaan manusia.
Menurut The Liang Gie (1982:88), teknologi mampu mengubah peran manusia untuk mencapai kesadaran intelektual dan moralitas. Bagi manusia, penemuan teknologi baru dijadikan sebagai momentum untuk membangun peradaban baru, yaitu “dunia objektif”, sehingga secara tidak sadar manusia akan menjadi konsumen barang-barang teknologi, dimana teknologi mampu mengubah makna kebudayaan menjadi akulturasi, inkulturasi, bahkan invasi.
Kedudukan filsafat terhadap ilmu pengetahuan adalah mencoba menyelidiki ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan bagaimana cara memperolehnya. Manusia pada dasarnya tidak terlepas dari ilmu pengetahuan karena pada hakikatnya dengan kemajuan ilmu pengetahuan seiring perkembangan zaman. Manusia akan selalu merasa tidak puas dengan apa yang ia peroleh untuk mengembangkan keilmuannya.
Para ilmuwan yang juga digolongkan sebagai para filsuf meyakini adanya keterkaitan antara perkembangan ilmu pengetahuan yang diinginkan semua umat manusia dengan filsafat. Oleh karena itu, filsafat merupakan mother of sciences yang di mana semua ilmu dahulunya berawal dari filsafat yang akan memposisikan dirinya sebagai ilmu kritis (ideologi) dan memiliki sistem pemikiran sistematis untuk membantu umat manusia ketika menelaah ilmu. Untuk membuktikan keabsahan suatu ilmu, maka diperlukan metode penelaah dan objek kajian dari suatu ilmu dari dasar-dasar ke-empirisannya dan kerasionalisannya, melalui filsafat ilmu.

Batas Etis Kajian Ilmu Sastra dan Budaya

Manusia menggunakan etika atau moral sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan kepribadian. Etika selalu berhubungan dengan teori-teori sastra karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap kebudayaan. Etika memiliki prinsip, di mana disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal dikatakan baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial tersebut.
Nilai etika sangat berkaitan erat juga dengan produk-produk budaya, salah satunya adalah karya sastra, seperti roman, novel, puisi, cerpen, maupun drama. Hanya saja, perumusan tentang batasan ilmu sastra dan budaya sangat kompleks. Konsep dari budaya merupakan sarana menganalisa manusia, agar memiliki peran yang berarti dalam pengertian berbudaya. Bagi siapapun yang ingin memahami esensi hakikat dari budaya, maka diperlukan pendekatan teorites sebagai penunjang memecahkan segala paradoks kebudayaan, melalui ilmu sastra.
Utama (2013:63) menyatakan bahwa paradoks yang dimunculkan diantaranya mulai dari pengalaman manusia, kebudayaan bersifat stabil dan dinamis, serta kebudayaan mengisi dan menentukan proses kehidupan manusia. Oleh karena itu, penyelesaian paradoks tersebut diperlukan suatu kesepatan untuk menentukan batasan etika nilai ilmu sastra dan budaya agar dipelajari oleh manusia untuk pekat terhadap lingkungannya.

Kontribusi Kajian Sastra dan Budaya dalam Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
Keberadaan ilmu sastra dan budaya memiliki kontribusi yang signifikan terhadap terciptanya manusia yang berbudi. Darma (1988:79) mengatakan bahwa seperti halnya filsafat dan agaman, karya sastra juga mempelajari masalah manusia. Karya sastra bertugas untuk membuka kebobrokan untuk dapat menuju ke arah pembinaan jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya.
Ilmu sastra yang berhubungan dengan kebudayaan memiliki kontribusi penting mengingat kebudayaan merupakan bagian dari kehidupan manusia. Ilmu sastra mengkaji segala aspek dalam kebahasaan, sehingga membantu manusia untuk memaknai fenomena yang hadir dalam kehidupan manusia berbudaya melalui ilmu teori-teori sastra. Selanjutnya kontribusi ilmu budaya dalam pembangunan peradaban manusia adalah apabila kita mengkaji ilmu budaya. Kita dapat mengetahui segala fenomena apapun yang terjadi pada kehidupan masyarakat.
Ketika sastra membahas permasalahan kontekstual yang terjadi di lapisan masyarakat, itu aama halnya seorang pengarang sedang mengkritisi fonomena yang terjadi. Dari penjelasan dalam isi cerita, pengarang dengan horison harapannya mencoba menggunakan intuisi dalam memberikan solusi dan pertimbangan untuk bisa memberikan penyelesaian yang lebih humanis.   
    Di sinilah letak dari kontribusi penting yang menjadi muatan pokok dalam karya sastra dalam membangun peradapan manusia dan kebudayaan yang lebih hakiki.




Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2005. Culture Studies: Teori dan Praktik.Yogyakarta: PT Bintang Pustaka
Darma, Budi. 1988. Moral dalam Sastra. Jakarta: Rosda.

Mulyana, Deddy. 1989. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Satyagraha Hoerip. 1986. Sejumlah Masalah Sastra. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Surajiyo, Dr. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta:PT Bumi
Aksara.

Suriasumantri, Jujun. S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.. Jakarta: Pustaka Sinar     Harapan.

Tim Dosen Filsafat. 2013. Filsafat Ilmu. Jogyakarta: Liberty
The, Liang Gie. 1982. The Interrentionships of Science and Technology. Yogyakarta:
Yayasan Studi Ilmu Teknologi.

Utama, I Gusti Bagus Rai. 2013. Filsafat Ilmu dan Logika. Badung: Universitas Dhyana
Pura.

Wellek, Rene dan Austin Werren. 1956. Theory of Literatur. New York: Harcourt, Brace
and Wold, Inc. (Terjemahan dalan Bahasa Indonesia oleh Melani Budiyanto. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar