14 Jun 2017

Ketika Bu Mus Merawat Mimpi dan Ikal Terbang Melalang Buana (Sebuah Tinjauan Film sebagai Seni dan Praktik Sosial)

Ketika Bu Mus Merawat Mimpi dan Ikal Terbang Melalang Buana
(Sebuah Tinjauan Film sebagai Seni dan Praktik Sosial)

Oleh: Ichwan Arif

Pendahuluan

Kalau kita melihat dari sudut etimologi, film (sinema) berasal dari kata cinema (gerak), tho atau phytos (cahaya), dan graphie atau grhap (tulisan, gambar, citra). Dari unsur kata-kata itu, bisa diambil pengertiannya, film (sinema) adalah melukis gerak dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya, harus menggunakan alat khusus, yang biasa disebut kamera.

Sejarah film dunia sangatlah panjang. Di Indonesia, keberadaan film mencapai masa kejayaan yaitu pada era 70-90 an. Pada era itu, bintang-bintang tenar, mulai dari Rhoma Irama, Roy Marten, Drg. Fadli, Mariam Belina, Dono, Kasino, Indro, Rano Karno, maupun Yati Octavia.

Kita juga masih sangat ingat akan kekentalan cerita-cerita film Indonesia pada zaman itu. Mulai dari adegan makan bersama keluarga, cinta yang tidak disetujui orang tua, tokoh ayah yang selalu memakai baju safari, bapak polisi yang selalu datang terlambat ketika ada permasalahan, masuk rumah sakit karena pasiennya sudah stadium 2 atau 3 terkena kanker atau leukimia, adegan lari-lari di taman, adegan tokoh cewek diperkosa tidak jadi karena datang tokoh jagoan, tokoh orang sakti/kyai mengusir setan, naik motor dengan model rambut gondrong, sampai tokoh cewek yang buru-buru masuk dan menutup pintu kamar, serta menangis karena dimarahi orang tuanya.

Selain itu juga, hadirnya film humor yang dinahkodai Dono, Kasino, dan Indro pun menjadi komuditi paling gres. Muncul juga film Catatan Si Boy, Lupus, Nyi Blorong, maupun Naga Bonar. Film-film itu bisa juga kita jadikan sebagai penanda pada zamannya. Selain itu, muncul juga beberapa film-film yang tergolong ‘panas’ yang muncul di layar putih.

Romantisme film-film Indonesia pada era 70-90 an tersebut adalah sebagai referensi dan ikon yang tidak boleh dilupakan. Bahwa film kita pernah menjadi raja di negeri sendiri. Para penggiat film Indonesia sudah mampu berkreativitas, berimajinasi, berinovasi dengan membuat karya. Karya-karya mereka adalah momentum karya seni yang nantinya menjadi kebanggaan bangsa.

Kita tidak bisa sekedar membanding-bandingkan model, cara, atau apresiasi film pada setiap zaman film itu dibuat. Sampai-sampai, ada yang mengatakan bahwa film pada era 70-90 an terlalu jadul, terkesan dibuat-buat, tidak masuk akal dan sebagainya. Tetapi, bagaimana kita bisa jadikan film-film tersebut sebagai tonggak era perfilman Indonesia yang terus berkembang dan ingin maju.

Realitas yang diusung dalam film pada era tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang didera atau dialami oleh masyarakat. Tokoh-tokoh dalam film pun dijadikan sebagai wakil untuk menyuarakan pemikiran atau masalah sosial. Sutradara maupun penulis skenario, bukan sekedar menjadikan sebagai film sebagai produk seni belaka, tetapi di dalam alur cerita film tersebut pasti ada pesan yang ingin disampaikan pada penikmat. Ada nilai tersirat maupun tersurat yang kendak diberikan ke penonton.

Film dan Produk Kreativitas Seni

Film merupakan “bahasa” simbol yang dipakai untuk membawa pesan atau merepresentasikan obyek tertentu dan sekaligus memiliki nilai moral bagi para penontonnya. Film dengan segala bentuk visualisasinya kini telah mengepung dalam kehidupan.

Film sebagai karya seni, merupakan hasil dari proses kreatif berbagai unsur diantaranya seni musik, seni rupa, seni suara, teater serta teknologi dengan kekuatan gambar sebagai bentuk visualisasinya. Film selain sebagai alat untuk mencurahkan ekspresi bagi penciptanya, juga sebagai alat komunikasi efektif. Ia dapat menghibur, mendidik, melibatkan perasaan, merangsang pemikiran dan memberikan dorongan atau motivasi. Perlu diingat juga, kehadiran film pun mampu memberikan dampak negatif, serta meruntuhkan nilai-nilai moral dan tatanan hidup yang ada di tengah masyarakat.

Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antara lain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film).

Film merupakan bagian dari estetika. Ketika kita menyebut film sebagai produk estetika, berarti dalam diri film itu memiliki kriteria fiksi, sehingga film bukan sekedar rekaman realitas. Di dalamnya memuat nilai-nilai transformasi imajinasi dan kreatif. Ketika unsur-unsur tersebut menjadi rangkaian tak terpisahkan, maka film merupakan produk seni.

Kreativitas dan imajinasi dari orang yang berperan aktif dari pembuat film menjadi salah satu kunci sukses bagaimana mereka bisa menghasilkan film yang benar-benar memiliki daya seni tinggi. Idealisme seni benar-benar dijunjung penikmat film bisa melihat lintasan seni yang bisa dilihat dan disaksikan melalui adegan, gambar-gambar yang ditampilkan.

Sebagai sebuah produk seni dan budaya, film memiliki fungsi dan manfaat yang sangat beragam bagi kehudupan masyarakat. Apalagi di teknologi yang segalanya serba modern ini, film memegang peranan sangat penting, antara lain: pertama, sebagai sarana ekspresi dan pengembangan seni, budaya, pendidikan, dan hiburan. Kedua, sebagai sarana pemberdayaan masyarakat luas. Ketiga, sebagai sarana untuk melestarikan kebudayaan bangsa. Keempat, sebagai penerangan, informasi, dan komunikasi.

Spirit film sebagai produk seni adalah bahwa film adalah salah satu media kreatif untuk dapat menyamaikan sebuah ide yang muncul dari pembuat film. Secara utuh, film mempunyai dasar dan motif, yakni film tercipta karena ada ide yang mendasari, ada tema yang diangkat, serta ada kandungan pesan atau amanat yang hendak disampaikan kepada penikmat film.

Sama halnya dengan hadirnya karya sastra (novel), film juga memiliki unsur instrinsik dan ekstrinsik. Film terbangun atas naratif dan sinematik. Dua hal ini yang akan menjadi kunci magnet estitika sebuah film ketika sudah dilepas ke masyarakat.

Sebagai produk kinematik atau gerak, film adalah bagian dari seni. Pernyataan ini juga sesuai dengan definisi film menurut UU 8 tahun 1992 adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya dengan atau tanpa suara, yang dapat ditunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.
Film, Tafsir, Imajinasi yang Tidak Bebas Nilai

Ketika melihat sebuah film secara utuh, kita tidak bisa melepaskan dari beberapa unsur yang membangun, mulai dari sosial, politik, budaya, psikologi. Unsur-unsur itu terbangun secara harmonis, saling mengait dan mempengaruhi. Keberadaan film tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa lepas karena di dalamnya pasti menyuarakan unsur-unsur tersebut.

Film tidak hanya menampilkan ulang gambaran realitas an sich. Tidak hanya merepresentasikan, merefleksikan atau sekedar cermin realitas semata. Keberadaannya akan memberikan konstruksi pula terhadap realitas.

Film adalah suatu tafsir, imajinasi, yang tidak bebas nilai. Sampai-sampai, film juga bisa dijadikan sebagai media propaganda atau kendaraan politik. Kehadirannya bukan sekedar menampilkan gambar atau realitas semata, tetapi film dijadikan sebagai corong untuk memuluskan sebuah pesan-pesan terpendam untuk misi tertentu.

Film Pengkhianatan G-30-S/PKI, Enam Djam di Jogja, Janur Kuning dan Serangan Fajar adalah beberapa contoh film yang dijadikan sebagai kendaraan propaganda rezim orde baru. Pembelokan sejarah, hegomoni militer, maupun pengkultusan individu adalah misi utama ketika film itu dikeluarkan ke masyarakat. Di sinilah letak bahwa film tidak bebas nilai. Film tidak memiliki otoritas murni sebagai medium pendidikan dan wadah estitika.

Film tidak dapat dimungkiri mampu merekam suatu zaman, kondisi masyarakat tertentu ataupun kode-kode budaya saat film tersebut diproduksi sekalipun ia tidak pernah diarahkan serta dimaksudkan untuk hal itu. Film pun bisa melihat wajah suatu bangsa. Mentalitas bangsa bisa direkam.

Film berkualitas adalah film yang mampu memberikan nilai-nilai inspirasi. Bukan sekedar realitas masyarakat sebagai bahan dasar, tetapi budaya, kearifan lokal, nilai-nilai luhur serta berbagai keunggulan bangsa. Film yang sarat dengan makna sesungguhnya pun mampu menjadi instrumen penting dalam membangun karakter bangsa. Negeri 5 Menara, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi serta Habibie & Ainun merupakan beberapa contoh karya film bernilai, bermutu dan sarat pendidikan karakter di dalamnya.

Praktik Sosial, Pendidikan Karakter, dan Idealisme dalam Film

Tanggal 26 September 2008, ketika Film Laskah Pelangi dirilis yang diangkat dari novel karya Andrea Hirata pertama kali diputar di layar lebar, banyak komentar-komentar terhadap film yang disutradarai Riri Riza dan diproduseri Mira Lesmana ini. Film yang dibintangi Cut Mini, Ikranegara, Slamet Rahardjo Djarot, Mathias Muchus, Tora Sudiro, dan Teuku Rifnu Wikana ini bisa dikatakan sebagai titik balik hadirnya sebuah film yang memberikan nilai-nilai pendidikan.

Sebelumnya, film Jelangkung, Pocong, dan Ada Apa dengan Cinta pun telah melengkapi hadirnya insan perfilman di Indonesia. Kehadiran Laskar Pelangi lebih mengedepankan unsur pendidikan, motivasi, dan kritik sosial. Film ini  menawarkan nilai-nilai pendidikan karakter. Dia merekam, memotret, dan sekaligus melakukan kritik sosial terkait dengan ketimpangan, kesenjangan, dan pemerataan kesempatan menikmati bangku sekolah.

Meskipun film ini adalah adaptasi dari sebuah novel yang sangat terkenal pada eranya, tetapi kehadiran film juga mampu menyedot perhatian banyak pihak. Film yang mengambil lokasi di Pulau Belitung menggunakan 12 pemeran anak-anak yang asli dari wilayah tersebut menghadirkan banyak alternatif pemikiran.

Film tersebut tidak hanyak mempertontonkan bagaimana seorang anak berjuang untuk terus belajar dalam mencapai cita-cita di tengah-tengah keterbatasan ekonomi semata. Bukan sekedar melihat kegigihan guru dalam memberikan pembimbingan sehingga bisa menghasilkan anak-anak berprestasi. Bukan sekedar melihat cita-cita 12 anak yang terus bermimpi.

Laskar Pelangi, pada sisi yang harus mendapat pemaknaan lebih dalam adalah wujud potret buram pendidikan di Indonesia. Bagaimana pendidikan masih belum ada pemerataan, gedung sekolah yang kurang mendapat perhatian dinas setempat, Anak-anak yang ‘dipekerjakan’ oleh orang tuanya untuk bekerja, kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta, sampai dengan minimnya tenaga guru di sekolah-sekolah terpencil.

Film ini bukan sekedar menawarkan keindahan Pulau Belitung dan semangat 12 anak ketika memiliki mimpi semata, tetapi lebih pada mengedepankan pada film adalah potret dan sekaligus sebagai cermin kehidupan yang harus mendapat perhatian lebih dari instansi yang berwewenang. Laskah Pelangi adalah sebuah praktik sosial yang di dalamnya penuh dengan misi. Baik itu pencerahan, kritikan pedas, maupun cibiran.

Pierre Bourdieu, ilmuwan sosial politik Prancis mengatakan bahwa praktik sosial adalah pemberlakuan kehidupan sosial sebagai suatu interaksi struktural, disposisi (kecenderungan), dan tindakan yang saling mempengaruhi. Praktik sosial memiliki dua dimensi. Pertama, internalisasi segala sesuau yang dialami dan diamati dari luar prilaku. Kedua, pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagain dari diri pelaku.

Sebagai praktik sosial, film tidak dimaknai sebagai ekspresi pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks dan dinamis dari elemen-elemen pendukung proses produksi, distribusi maupun eksibisi. Sedangkan sebagai produk komunikasi massa, film dimaknai sebagai pesan-pesan yang disampaikan dalam komunikasi filmis yang memahami hakikat, fungsi, dan efeknya.

Artinya, film diproduksi untuk menyampaikan ide tertentu yang tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan budaya yang ada. Pendidikan yang kurang mendapat perhatian serius, kearifan lokal yang belum mendapat sentuhan, tenaga guru yang belum seimbang dan merata, kesenjangan sosial dan ekonomi di daerah terpencil masih menjadi permasalahan utama.

Laskah Pelangi tidak bebas nilai. Di dalamnya banyak hal yang ingin disampaikan dan diutarakan kepada masyarakat. Film ini menjadi kendaraan sosial, politik, dan budaya. Imajinasi dan kreativitas penulis, sutradara, dan seluruh pendukung insan film memberikan nilai-nilai yang nantinya menjadi pesan-pesan moral, sosial, dan politik.

Belakangan ini, hadirnya film indie yang berbentuk film dokumenter banyak bermunculan di kalangan mahasiswa maupun penggiat film lainnya. Lewat idealisme yang ingin disuarakan, mereka-mereka lebih sering melihat realitas sosial bukan dengan kaca mata polos. Kaca mata warna-warna terang. Film dokumenter yang dihasilkan menjadi media idealisme mereka untuk menggambarkan fonomena yang terjadi di masyarakat dengan sesungguhnya.

Film dokumenter menjadi media praktik sosial mereka dalam melihat hitam putihnya kehidupan yang mereka lihat, didengar, dan rasakan. Maka, muncullah film-film berdurasi pendek sebagai pengambaran kritik sosial dari mereka.

Film dokumenter yang berjudul Indonesia, The World’s Fourth most Populous Country menggambar bagaimana situasi dan kondisi masyarakat Indonesia masih dalam kemiskinan. Masalah membelit terkait dengan pemerataan penduduk, pengangguran, ketimpangan sosial, demo, dan kesenjangan.  

Untuk menggambarkan kesulitan yang dialami masyarakat, film pertama kali dibuka dengan embun yang didalamnya tercermin petani yang sedang menyemprot di ladang. Sawah dalam keadaan kekeringan, mendadak ada ular cobra yang sedang menghadap kamera dan mematuk. Orang yang mengenakan baju merah sedang berjalan di atas tembatan rel kereta, disusul dialog ibu-ibu tua yang sedang mengeluh tentang tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya, gambaran berjubel orang antre melamar pekerjaan di bursa lowongan pekerjaan, pemandangan birokrasi berbelit, demo di Tugu Monas masalah ketimbangan ekonomi, pemandangan roda-roda mobil yang tengah melaju di perkotaan, dan juga kompor gas meletus yang dialami ibu rumah tangga.

Selain itu, dalam film dokumenter yang berdurasi 2,09 menit ini juga menayangkan permainan masyarakat kecil yaitu tong setan. Permainan sepeda motor yang berputar-putar dengan kecepatan tinggi dalam arena bulat mirip tong yang besar. Pemandangan orang kaya yang membagi-bagi dengan cara menyemburatkan uang dari tempat yang tinggi. Di bagian bawah sudah ditunggu banyak orang yang saling berebut untuk mendapatkannya.

Pada bagian akhir, seseorang digambarkan berada di dalam taksi. Dari kaca mobil tersembul rumah-rumah mewah dengan pilar-pilar penyangga superbesar. Ending film dimunculkan gambar gunung yang pemandangan pedesaan yang alami.

Meskipun film ini berdurasi sangat pendek, tetapi potret alam yang lengkap dengan permalahan yang dialami ibu-ibu, anak muda, babak-bapak yang sedang mengucapkan jihad terhadap permasalahan ekonomi negara. Kompor gas meletus, ular kobra yang mematuk, dan orang saling tindih ketika berebut uang adalah gambaran-gambaran ketakutan yang dialami oleh masayarakat kebanyakan.

Film dokumenter ini bukan sekedar balutan seni pengambilan gambar, kejelian dalam pencahayaan semata, tetapi film ini telah mampu menjadi wadah-wadah sosial dan politik. Ide kreatifnya telah menjelma menjadi pilar idealisme mereka dalam memahami dan merasakan tentang keadaan yang terjadi di masyarakat. Mereka tidak sekedar mengambil gambar sawah, gunung, orang demo, kompor gas  meletus, atau ular kobra yang tanpa nilai. Visualisasi gambar dan diselingi dengan dialog-dialog pendek ini telah mampu menjadi kekuatan tersendiri. Roh visualisasinya telah mampu menjadi corong, bagaimana keadaan masyarakat harus segera ditangani dan diselesaikan dengan segera oleh pemerintah.

Laskah Pelangi dan juga film dokumenter tersebut di atas adalah contoh kecil, bagaimana film bukan sekedar penggambaran realitas maupun cermin yang menampilkan deskripsi visual semata, tetapi esensi utamanya adalah ide dan nilai-nilai yang dikandung. Tatanan nilai, baik sosial, politik, ekonomi, maupun budaya telah menjadi kekuatan mahadahsyat untuk dijadikan sebagai media kritik dan pencerahan.

Bukan sekedar seni sebagai unsur dan produk budaya semata, film telah menjelma menjadi produk yang bertata nilai. Produk yang mampu dijadikan sebagai patner institusi dan negara. Penyeimbang sekaligus ‘motivasi’ untuk perbaikan-perbaikan. Permasalahan masyarakat terlalu banyak. Kaca mata pemerintah masih belum mampu meneropong sedetail-detailnya, apalagi bisa menyelesaikan secara cepat dan tepat.

Kehadiran film bisa dijadikan sebagai referensi yang sinyal bahwa masyarakat masih perlu diperhatikan. Bukan sedekar memberikan pelayanan-pelayanan pada perekonomian dunia dan mengurusi pembangunan gedung-gedung menjulang saja, tetapi kehidupan masyarakat kecil juga harus mendapat perhatian serius. Film sebagai praktik sosial sangat tepat untuk dikedepankan. Hal ini menjadi keutamaan dalam mencipta film. Film harus mampu dan berani membuat gambaran-gambaran permasalahan bobrok sekalipun. Kemiskinan, aktivis yang diculik oleh aparat, ketimpangan pendidikan, kelaparan, dan lain sebagainya.

Di sinilah letak dari praktik sosial yang diemban insan perfilman sekarang. Bukan romantisme, perselingkuhan, perceraian, percintaan, dan hal-hal yang berbau mistis (hantu, pocong, kuntilanan dan sejenisnya) yang ingin dimunculkan dalam alur cerita, tetapi ada hal yang lebih besar yaitu nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai hakiki yang seharusnya didapat oleh seluruh masyarakat sampai lapisan terendah.

Bagaimana masyarakat pada level rendah sudah tidak lagi mendiskusikan tentang sawah yang kena hama maupun hujan yang menyebabkan banjir dan tanah longsor. Mereka sudah lebih enjoy dalam memahami dan menjalani hidup. Filmlah yang harus menempatkan diri sebagai media untuk menyuarakan pada pemerintah. Filmlah yang harus menjalankan misi untuk membantu mereka. Bukan sekedar menggambarkan dan memunculkan dalam narasi cerita semata, tetapi dampak itu harus terlihat.

Laskar Pelangi ketika dirilis, bagaimana dampak secara ekonomi pariwisata? Wisata pantai yang selama ini kurang dilirik dan dikunjungi oleh wasatawan domestik maupun mancanegara, dengan hadirnya film tersebut, perekonomian dan pariwisata di daerah tersebut menjadi sangat ramai. Ini pun berdampak pada perekonomian masyarakat kelas bawah. Pulau Belitung dengan pariwisata menariknya telah menjelma menjadi objek wisata yang sangat menarik dan idaman.

Terus bagaimana dengan pendidikannya? Apakah masih ada sekolah yang hampir roboh seperti yang adalah dalam filmnya? Bagaimana dengan tenaga pengajaranya? Apakah masih ada sosok Bu Mus yang sangat mengorbankan jiwa raganya untuk memajukan anak didiknya?

Pertanyaan-pertanyaan inilah setidaknya telah disampaikan, dideskrisikan, dan dinarasikan secara gamblang dalam film. Pulau Belitung mulai ‘berbenah’. Masyarakat-masyarakat menyadari bahwa kehadiran film Laskar Pelangi telah mampu mengubah wilayahnya. Bukan sekedar terkenal, tetapi Pulau Belitung sudah sadar bagaimana mereka bertindak, merespon, dan melihat kearifan lokal untuk lebih maju.

Film selain sebagai produk seni, kehadirannya telah membawa misi. Visualisasi gerak yang dibalut dengan kekuatan naratologinya telah bertata nilai. Baik itu sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Ide, pesan atau amanatnya telah menjadikan film sebagai gerbong untuk memberikan semangat-semangat. Film tidak lagi menampilkan hal-hal baik semata, tetapi sudah berani memotret kepincangan sosial yang terjadi di masyarakat.

Film telah menjelma kendaraan bertata nilai. Di dalamnya banyak muatan yang dibawa. Muatan-muatan ini nantinya akan diberikan pada setiap penonton film. Nilai-nilai ini akan menjadi pesan kepada pemangku kebijakan dan pemerintah sekaligus. Film telah menjadikan Bu Mus menjadi ikon, bagaimana pendidik menjalankan tugas mendidik dan merawat mimpi Ikal dan teman-temannya untuk terus terbang dan melalang buana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar