15 Jun 2017

Membingkai Realitas dalam Film Dokumenter (Sebuah Analisis Semiotik Roland Barthes)

Membingkai Realitas dalam Film Dokumenter
(Sebuah Analisis Semiotik Roland Barthes)
Oleh: Ichwan Arif


Abstraksi

Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan dan fakta. Film yang merepresentasikan sebuah realita, dengan melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya. Dalam film dokumenter tidak ada cerita fiktif yang dibuat-buat untuk mendramatisir adegan dalam film. Artinya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan dan menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
Kebenaran yang dibingkai dalam film dokumenter The Mangoes (Mangga Golek Matang Pohon), Ketika Garamku Melukis Namamu, dan Indonesia, The World’s Fourth most Populous Country menjadi tanda yang menyimpan realitas sosial yang ada dalam masyarakat.
Dalam penelitian ini menggunakan teori semiotik Roland Barthes yang mengatakan bahwa adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut mewakili sesuatu objek representatif. Metode penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif, yaitu kualitatif antara lain, lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, manusia merupakan alat instrument utama pengumpul data, analisis data dilakukan secara induktif, penelitian bersifat deskritif, dan tekanan penelitian berada dalam proses.
Realitas sosial yang tergambar dalam ketiga film dokumenter tersebut menggambarkan fonomena yang terjadi di masyarakat. Tanda dan penanda yang digambarkan oleh ketiga sutradara menjadi bingkai-bingkai makna yang bisa dijadikan sebagai edukasi hidup masyarakat kecil. Mulai dari ‘sakitnya’ transeksual yang ingin diterima lingkungan, petani tambak yang mengurai keringat dalam menyambung hidup, dan kemiskinan yang menjadi sahabat masyarakat kecil.


Kata Kunci: Realitas, film dokumenter, dan semiotik Roland Barthes

  1. Latar Belakang Masalah
Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan dan fakta. Film yang merepresentasikan sebuah realita, dengan melakukan perekaman gambar sesuai apa adanya. Dalam film dokumenter tidak ada cerita fiktif yang dibuat-buat untuk mendramatisir adegan dalam film. Artinya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan dan menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
James Carey (Aufderheide, 2007:5) mengatakan bahwa realitas merupakan sumber yang langka. Realitas bukanlah apa yang ada di luar sana, melainkan apa yang kita tahu, pahami dan bagi satu sama lain mengenai apa yang ada di luar sana. Media paling banyak mempengaruhi apa yang ada dipikiran kita. Dokumenter merupakan realitas yang penting dalam membentuk komunikasi karena dokumenter dikatakan menyatakan suatu kebenaran, berdasar pada kehidupan yang sebenarnya dan menyatakan bahwa kita layak mengetahui mengenai hal tersebut.
Film dokumenter juga merupakan rekapan kejadian yang diambil langsung saat kejadian nyata sedang berlangsung. Dalam film dokumenter, unsur hiburan tidak terlalu ditonjolkan, melainkan unsur pesan khusus dari tema film dokumenter tersebut. Meski begitu dalam beberapa film dokumenter juga menampilkan unsur entertain yang tidak sedikit.
Film dokumenter kerap digunakan sebagai media ktirik sosial dengan memotret hal-hal kelam dalam negara. Seperti potret kehidupan masyarakat miskin atau kesenjangan sosial yang terjadi dalam suatu negara. Selain itu, film dokumenter juga digunakan untuk membuat film biografi suau tokoh. Para artis, musisi dan penyanyi dunia yang populer juga sering membuat film dokumenter  dengan video dokumenter hasil konser dan show serta kehidupan sehari-hari mereka.
Film dokumenter merupakan karya film berdasarkan realita atau fakta perihal pengalaman hidup seseorang atau mengenai peristiwa. Untuk itu, untuk mendapatkan ide bagi film realita, dibutuhkan kepekaan dokumentaris terhadap lingkungan budaya sosial, budaya, politik, dan alam semesta. Rasa ingin tahu yang besar bisa diimbangi dengan membaca dan atau berkomunikasi antar manusia dalam pergaulan.
Dengan kata lain, ide cerita untuk film dokumenter bisa didapat dari yang dilihat dan didengar, bukan berdasarkan suatu khayalan imajinatif. Selain banyak membaca serta berkomunikasi dalam pergaulan, seorang dokumenter juga harus banyak mengamati lingkungannya, juga berdiskusi dengan komunitas dan kelompok masyarakat yang memiliki aktivitas sosial dan budaya.
Untuk menemukan ide, ada dua kemungkinan motivasi yang dapat dijadikan titik berangkat, yaitu motivasi pribadi dan motivasi sponsor atau produser. Yang dimaksud dengan motivasi pribadi adalah yang berdasarkan ide pribadi yang munculnya bisa karena pribadi bersangkutan tertarik pada sebuah subjek untuk dijadikan tema film dokumenter. Sedangkan motivasi sponsor menempatkan pribadi yang bersangkutan sebagai bagian sebuah tim kreatif yang memproduksi suatu produk pesanan yang datang dari stasiun televisi, atau rumah produksi atau lembaga pemerintah atau lembaga swasta atau juga lembaga asing. Umunya, sponsor untuk dokumenter berasal dari lembaga pemerintah, lembaga swasta, juga lembaga dana nonkomersial dari luar negeri.
Untuk mengungkap tentang realitas sosial yang terdapat dalam isi film dokumenter, penelitia membuat mengungkap makna film dokumenter dengan judul penelitian “Membingkai Realitas dalam Film Dokumenter”.
Objek kajian penelitian ini menggunakan 3 film dokumenter yang berjudul The Mangoes (Mangga Golek Matang Pohon), Ketika Garamku Melukis Namamu, dan Indonesia, The World’s Fourth most Populous Country. Dalam ketiga film tersebut menggambarkan bagaimana realitas sosial menjadi fokus utama dalam menyampaikan pesan. Mulai dari bagaimana menggambarkan permasalahan sosial tentang LGBT, petani garam yang terhimpit dan terancam dengan arus pembangunana, dan kemiskinan dan masalah yang membelenggu masyarakat kecil.

  1. Kerangka Teori
Untuk bisa mengungkap makna realitas sosial dan ‘kebenaran-kebenaran’ yang terdapat di ketiga film dokumenter, penelitia menggunakan teori semiotik. Dalam pemahamannya, semiotik adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut mewakili sesuatu objek representatif.
Menurut Roland Barthes, semiotik adalah suatu system tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Pemikiran Barthes menekankan interaksi teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antar konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunannya. Pemikiran ini mencakup makna denotasi dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural dan personal).
   
  1. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam buku yang ditulis J. Moleong (2005:4), penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan, wawancara, atau penelaahan dokumen. Metode kualitatif ini digunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kaulitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyelesaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Margono,S (2005:37) mengatakan bahwa ciri penelitian kualitatif antara lain, lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung, manusia merupakan alat instrument utama pengumpul data, analisis data dilakukan secara induktif, penelitian bersifat deskritif, dan tekanan penelitian berada dalam proses.

  1. Hasil dan Pembahasan
    1. Realitas Sosial dalam Film Dokumenter
  1. Film Dokumenter The Mangoes (Mangga Golek Matang Pohon)
Film dokumenter garapan Tonny Trimarsanto ini adalah film bukan hanya sekadar hiburan, namun mampu digunakan sebagai sarana pembelajaran, sekaligus respon dan cerminan atas realita sosial yang ada. Menurut sutradara yang pernah bekerja jadi peƱata artistik di beberapa film garapan Garin Nugroho mengaku bahwa membuat film documenter adalah media untuk selalu belajar.
Tidak terkecuali ketika dia membuat film The Mangoes (Mangga Golek Matang Pohon). Pria banyak mendapat penghargaan dari Festival Film Dokumenter Indonesia, Cannes International Film Festival, Miami International Film Festival, Toronto International Film Festival dan Tokyo International Film Festival ini harus belajar dan menyelami tentang transeksual.
The Mangoes (Mangga Golek Matang Pohon) yang menjadi film pembukan Festival Film Dokumenter tahun 2012 ini mengangkat masalah sosial. Sekilas dari judulnya, mungkin orang tidak tahu bahwa film ini bercerita tentang realita kehidupan transgender di Indonesia. Film The Mangoes sendiri mengisahkan perjalanan Renita, seorang transgender yang ingin kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun diusir oleh ayahnya.
Ayah Renita yang memegang teguh agama, menolak pilihan anaknya menjadi seorang transgender. Di film ini tergambar jelas bagaimana perjuangan hidup kaum transgender yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Perlakuan tidak adil sampai penolakan dari lingkungan merupakan kenyataan bagaiamana kultur masyarakat Indonesia masih belum menerima keberadaan transgender.
Pemahaman masyarakat yang sempit tentang kehidupan transgender, membuat Tonny ingin membawa masyarakat untuk melihat kehidupan transgender secara lebih jelas lewat filmnya tersebut. Baginya, transgender kerap dilihat sebelah mata oleh kebanyakan orang. Padahal ada sisi lain dari transgender yang selama ini belum dilihat oleh masyarakat.
Film yang dibuat mulai tahun 2007 dan selesai pada tahun 2012 ini bukan sekedar menampilkan sosok transgender, tetapi lebih pada ingin mengajak orang merubah persepsi akan transgender itu sendiri. Dalam film ini kita dapat melihat dan merasakan keprihatinan kehidupan transgender dari sudut pandang transgender sendiri. Dari sini ia merasakan terkadang perlakuan masyarakat tidak adil bagi mereka yang sejatinya adalah transgender.
4.1.2 Film Dokumenter Ketika Garamku Melukis Namamu
Film dokumenter ini mengisahkan cerita tentang pembuatan garam di Desa Manyar Gresik. Film yang digarap Ichwan Arif ini mencoba mengilustrasikan kehidupan sosial masyarakat di tengah roda pembangunan. Lahan tambak garam yang semakin hari semakin kecil karena harus digusur dan berganti menjadi pabrik-pabrik, sebenarnya adalah akan ‘mematikan’ perekonomian masyarakat kecil.
Ketika masyarakat yang memiliki kepentingan berhasil membeli dan di atas lahan tersebut akan dibangun sebuah pabrik supermewah, maka tidak secara langsung, roda ekonomi masyakat juga akan berdampak. Ketika masyarakat tersebut terkena dampak, maka keluarga, biaya keseharian, biaya sekolah anak-anaknya juga akan menjadi kendala juga. Pesan tersirat itulah yang ingin disampaikan oleh sutradara.
Di balik pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara, film ini juga ingin memberikan gambaran bagaimana seluk-beluk pekerja tambah garam dalam memroduksi garam. Mulai dari tahapan pertama sampai tahapan packing dan siap jual. Sorot kamera mencoba memberika gambaran secara detal lewat zoom kamera yang digunakan. Hal ini memberikan kesan begitu pekerjaan membuat garam itu membutuhkan tahapan yang ribet dan njelimet. Ada juga penggambaran tentang tokoh dengan sang istri ketika mengusung garam dan ketika mereka sedang berada di gubuk, di tengah tambak garam.
Kesan latar, mulai dari gubuk, sungai kecil, kincir angin, dan tanah pecah-pecah memberikan efek gambar yang begitu nyata. Sisi-sisi kehidupan seorang petambak garam di tengah himpitan pabrik-pabrik besar yang sewaktu-waktu bisa jadi mereka akan tergusur. Bisa jadi mereka harus angkat kaki dari tambah-tambak yang telah menghidupi dia dan anak keturunannya.

4.1.3  Film Dokumenter Indonesia, The World’s Fourth most Populous Country
Film dokumenter menjadi media praktik sosial mereka dalam melihat hitam putihnya kehidupan yang mereka lihat, didengar, dan rasakan. Maka, muncullah film-film berdurasi pendek sebagai pengambaran kritik sosial dari mereka.
Film dokumenter yang berjudul Indonesia, The World’s Fourth most Populous Country menggambar bagaimana situasi dan kondisi masyarakat Indonesia masih dalam kemiskinan. Masalah membelit terkait dengan pemerataan penduduk, pengangguran, ketimpangan sosial, demo, dan kesenjangan.  
Untuk menggambarkan kesulitan yang dialami masyarakat, film pertama kali dibuka dengan embun yang didalamnya tercermin petani yang sedang menyemprot di ladang. Sawah dalam keadaan kekeringan, mendadak ada ular cobra yang sedang menghadap kamera dan mematuk. Orang yang mengenakan baju merah sedang berjalan di atas tembatan rel kereta, disusul dialog ibu-ibu tua yang sedang mengeluh tentang tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya, gambaran berjubel orang antre melamar pekerjaan di bursa lowongan pekerjaan, pemandangan birokrasi berbelit, demo di Tugu Monas masalah ketimbangan ekonomi, pemandangan roda-roda mobil yang tengah melaju di perkotaan, dan juga kompor gas meletus yang dialami ibu rumah tangga.
Selain itu, dalam film dokumenter yang berdurasi 2,09 menit ini juga menayangkan permainan masyarakat kecil yaitu tong setan. Permainan sepeda motor yang berputar-putar dengan kecepatan tinggi dalam arena bulat mirip tong yang besar. Pemandangan orang kaya yang membagi-bagi dengan cara menyemburatkan uang dari tempat yang tinggi. Di bagian bawah sudah ditunggu banyak orang yang saling berebut untuk mendapatkannya.
Pada bagian akhir, seseorang digambarkan berada di dalam taksi. Dari kaca mobil tersembul rumah-rumah mewah dengan pilar-pilar penyangga superbesar. Ending film dimunculkan gambar gunung yang pemandangan pedesaan yang alami.
Meskipun film ini berdurasi sangat pendek, tetapi potret alam yang lengkap dengan permalahan yang dialami ibu-ibu, anak muda, babak-bapak yang sedang mengucapkan jihad terhadap permasalahan ekonomi negara. Kompor gas meletus, ular kobra yang mematuk, dan orang saling tindih ketika berebut uang adalah gambaran-gambaran ketakutan yang dialami oleh masayarakat kebanyakan.
Film dokumenter ini bukan sekedar balutan seni pengambilan gambar, kejelian dalam pencahayaan semata, tetapi film ini telah mampu menjadi wadah-wadah sosial dan politik. Ide kreatifnya telah menjelma menjadi pilar idealisme mereka dalam memahami dan merasakan tentang keadaan yang terjadi di masyarakat. Mereka tidak sekedar mengambil gambar sawah, gunung, orang demo, kompor gas  meletus, atau ular kobra yang tanpa nilai. Visualisasi gambar dan diselingi dengan dialog-dialog pendek ini telah mampu menjadi kekuatan tersendiri. Roh visualisasinya telah mampu menjadi corong, bagaimana keadaan masyarakat harus segera ditangani dan diselesaikan dengan segera oleh pemerintah.


4.2  Makna dan Kebenaran dalam Film Dokumenter
    Dalam ketiga film documenter The Mangoes (Mangga Golek Matang Pohon), Ketika Garamku Melukis Namamu, dan Indonesia, The World’s Fourth most Populous Country, masing-masing sutradara bukan sekedar gambar-gambar dengan durasi pendek. Ketiga film, dengan masing-masing karakternya, mencoba memberikan kebenaran apa yang terjadi di masayarakat. Fonomena tentang LGBT, petani garam, dan gap kemiskinan yang ada di masyarakat menjadi menu yang disuarakan sutradara.
Dalam film The Mangoes (Mangga Golek Matang Pohon), sutradara memunculkan sosok Renita sebagai reperesentasi dari transeksual sebagai ikon tanda. Tanda ini mencoba menjadi sosok yang akan menyelami permasalahan sosial dalam masyarakat. Dalam menyelami tentang transeksual, sutradara menekankan bagaimana penonton bisa menyelami lebih dalam tentang kehidupan transeksual.
Laki-laki dengan lipstikk, rok jin pendek, kaos tanpa lengan, jalan lenggak-lenggok, dan sisiran yang berbeda dengan laki-laki, Renata mencoba ‘berontak’ terhadap hidupnya. Film ini bercerita tentang realita kehidupan transgender di Indonesia. Film The Mangoes sendiri mengisahkan perjalanan Renita, seorang transgender yang ingin kembali ke kampung halamannya setelah bertahun-tahun diusir oleh ayahnya.
Pejuangan Renata saat ingin kembali dalam keluarga dan masyarakat. Dia ingin diterima layaknya manusia normal. Ayah Renita yang memegang teguh agama, menolak pilihan anaknya menjadi seorang transgender. Di film ini tergambar jelas bagaimana perjuangan hidup kaum transgender yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Perlakuan tidak adil sampai penolakan dari lingkungan merupakan kenyataan bagaiamana kultur masyarakat Indonesia masih belum menerima keberadaan transgender.
Dalam film Ketika Garamku Melukis Namamu, secara semiotic, banyak hal yang disampaikan oleh sutradara. Mulai dari gubuk yang ada di tengah tambak, zoom kamera yang sesekali mengambil gambar pabrik yang ada di dekat dengan tambahnya, sampai dengan baling-baling yang menggambarkan tentang perjuangan hidup.
Tanah pecah-pecah, baling-baling, pabrik yang mulai ‘mendekati’ tambah menjadi pesan tersendiri dalam film ini. Tambak garam di Gresik tambah sempit. Keberadaannya sewaktu-waktu bisa tergilas dengan berdirinya pabrik-pabrik. Pada akhirnya, para petani akan menjadi baling-baling yang terkalahkan.
Tanda-tanda yang dihadirkan sutradara menjadi pesan penting, bukan sekedar ingin sekedar menjadi sosok tokoh dengan aktivitasnya semata, tetapi ada makna lebih dalam yang ingin disampaikan. Film dokumenter ini ingin menyampaikan pesan bahwa kehidupan adalah perjuangan dan perjuangan mereka akan sirna ketika pembangunan akan mencoba menepikan para petambak garam lainnya.  
Dalam film dokumenter Indonesia, The World’s Fourth most Populous Country, dibuka dengan embun yang didalamnya tercermin petani yang sedang menyemprot di ladang. Sawah dalam keadaan kekeringan, mendadak ada ular cobra yang sedang menghadap kamera dan mematuk. Orang yang mengenakan baju merah sedang berjalan di atas tembatan rel kereta, disusul dialog ibu-ibu tua yang sedang mengeluh tentang tidak memiliki uang untuk menyekolahkan anaknya, gambaran berjubel orang antre melamar pekerjaan di bursa lowongan pekerjaan, pemandangan birokrasi berbelit, demo di Tugu Monas masalah ketimbangan ekonomi, pemandangan roda-roda mobil yang tengah melaju di perkotaan, dan juga kompor gas meletus yang dialami ibu rumah tangga.
Hal-hal tersebut dihadirkan sutradara sebagai kumpulan tanda yang menyimpan makna dan pesan yang menggambarkan kesulitan yang dialami masyarakat.  Ada juga permainan masyarakat kecil yaitu tong setan. Permainan sepeda motor yang berputar-putar dengan kecepatan tinggi dalam arena bulat mirip tong yang besar. Pemandangan orang kaya yang membagi-bagi dengan cara menyemburatkan uang dari tempat yang tinggi. Di bagian bawah sudah ditunggu banyak orang yang saling berebut untuk mendapatkannya.
Pada bagian akhir, seseorang digambarkan berada di dalam taksi. Dari kaca mobil tersembul rumah-rumah mewah dengan pilar-pilar penyangga superbesar. Ending film dimunculkan gambar gunung yang pemandangan pedesaan yang alami.
Tanda yang dimunculkan dalam film ini mencoba menggambarkan bagaimana masyarakat kecil yang akrab dengan kemiskinan, antre, berjubel, dan permainan-permainan yang membahayakan. Kompor gas meletus, ular kobra yang mematuk, dan orang saling tindih ketika berebut uang adalah gambaran-gambaran ketakutan yang dialami oleh masayarakat kebanyakan.
Makna yang ingin disampaikan adalah masyarakat kecil adalah golongan kedua yang harus menerima dengan lapang dada dengan kemiskinan tersebut. Masyakarat yang harus menerima dengan segala apa yang menjadi dampak kehidupannya.
   
Daftar Pustaka


Aufderheide, Patricia. 2007. Documentary Film: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.    

J. Moleong, Lexy. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Margono,S. 2005. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar