13 Jun 2017

LOGIKA ANTROPOSENTRIS DALAM CERPEN PROTES KARYA PUTU WIJAYA (SEBUAH PENDEKATAN STRUKTURALIS GENETIK)

LOGIKA ANTROPOSENTRIS
DALAM CERPEN PROTES KARYA PUTU WIJAYA
(SEBUAH PENDEKATAN STRUKTURALIS GENETIK)
Oleh: Ichwan Arif


    Teeuw (1988:21-22) mengatakan bahwa walaupun secara definitif pengertian sastra tidak dapat dirumuskan, secara intuitif dapat dipahami gejala sastra sebagai rekapitulasi gagasan yang tidak langsung berkaitan dengan kenyataan, bersifat rekaan, mempunyai nilai estetik, dan mempunyai posibilitas timbulnya ambiguitas makna bagi para penikmatnya.
    Membaca karya sastra, kita akan menemukan karakter-karakter kehidupan manusia pada masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, bahkan kehidupan yang sama sekali asing. Karya sastra tidak hanya menggambarkan kelemahan, ketakutan, keterasingan, ataupun segala macam keindahan atau kebaikan, tetapi lebih pada mendramatisasikan kehidupan manusia. Artinya, karya sastra pun mampu menyuguhkan perubahan prinsip yang dipikirkan pengarangnya menjadi suatu kehidupan atau tindakan.
    Penjelasan ini membuktikan bahwa karya sastra yang ditulis pengarang senantiasa bersumber pada real kehidupan yang bertata nilai tertentu. Selain itu juga, kehadiran karya sastra pun mampu memberikan sumbangan bagi terbentuknya tata nilai kehidupan manusia. Mulai dari nilai-nilai sosial, religius, moral, filosofis, dan budaya.
    Karya sastra sebagai produk ‘kecerdasan’ manusia yang di dalamnya memuat suatu kompleksitas gagasan, konsep, pikiran manusia, mengarah pada suatu sistem bermakna. Karya sastra dan realitas sosial budaya bertemu dan saling memberikan pengaruh, saling membutuhkan. Singkatnya, sastra mampu memberikan sumbangsih bagi terbentuknya tata nilai kehidupan manusia.
    Dalam garis fungsi, sastra mampu menggerakan pathos pembaca, menumbuhkan jiwa humanitet, jiwa halus, manusiawi, berbudaya, dan juga perbaikan diri. Walaupun kehadirannya tidak menyuguhkan suatu paket pengetahuan dalam bentuk jadi, sastra menyediakan kemungkinan sikap etis, dan moral untuk menghadapi tatanan nilai, baik dalam konteks individu maupun sosial.
    Logikanya, pengarang adalah pemikir dan sekaligus penulis cerita. Pemahaman ini tidak bisa balik, dengan mengatakan penulis cerita sekaligus pemikir, karena akan mengalami kerancuan dalam konsepnya. Ketika proses penulisan, boleh saja penulis bertindak sebagai penulis cerita terlebih dahulu dan baru bertindak sebagai pemikir, tapi konseptual dia pemikir terlebih dahulu.
    Budi Darma (1988) mengatakan bahwa kualitas hal-hal yang dia amati, entah sadar atau tidak, tergantung pada kualitasnya sebagai pemikir. Dalam kerja mereka, bagaimana pula dalam proses penulisan mereka, mungkin saja mereka mengamati hal-hal tersebut sebagai penulis cerita. Tapi sekali lagi, konseptual mereka mengamati hal-hal tersebut sebagai pemikir.
    Seorang pengarang adalah mewakili pikiran kolektif lewat karya sastra yang mereka ciptakan dari proses kreatif. Pemikiran kolektif tersebut terwakilkan dalam tokoh-tokoh yang mereka ciptakan. Kalau meminjam bahasa Kuntowijoyo (1984:131), bahwa seorang pengarang mencipta karya sastra sama halnya dengan dia membuat lakon carangan, tidak lepas dari simbolisme kolektif. Tokoh dalam karya sastra adalah wakil dari kesadaran pengarangnya. Ia wakil dari pengarangnya yang paling setia atau kepala rencana skenario pengarangnya.
    Berangkat dari pemikiran tersebut bahwa karya sastra, ketika hadir di hadapan kita, tidak berangat dari kekosongan informasi. Kekayaan informasi inilah yang menjadi bahan renungan dan kajian atas nilai-nilai yang dikandung.
    Pada kajian ini penulis melakukan analisis terhadap cerpen Putu Wijaya yang berjudul Protes, yang pernah dimuat di koran Kompas, Minggu, 23 November 2014 menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Goldmann dalam Ratna (2007:127), dalam penelitian teori strukturalisme genetik, ada tiga langkah dalam metode penelitiannya, yaitu: (1) struktur teks, (2) struktur sosial, dan (3) pandangan dunia.
Faruk (2012:56) mengatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur, akan tetapi struktur tersebut tidak statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi, dan destrukturas yang hidup dan dihayati oleh masyarakat dalam karya sastra yang bersangkutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam teori strukturalisme genetik ini, latar belakang dari sebuah karya sastra, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Dalam rangka memberikan keseimbangan antara karya sastra dengan aspek-aspek yang berada di luarnya, yaitu antara hakikat otonomi dengan hakikat ketergantungan sosialnya, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan karya dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitknnya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan.

Putu Wijaya dan Keterkejutan dalam Alur cerita
    Cerpen Protes karya Putu Wijaya, meskipun menggunakan pengimajian sederhana, tetapi kekuatan intuisinya bisa dirasakan. Ketika tokoh Baron merealisasikan pembelian puluhan hektar tanah dan rumah penduduk, di situlah konflik di mulai. Berjalan lewat alur maju, Putu Wijaya, menggerakkan cerita sangat dinamis.
    Diawali dengan konflik antara pasutri, Bu Amat dan Pak Amat. Bu Amat menginginkan suaminya protes terhadap Baron yang semena-mena akan membangun gedung 30 lantai di lingkungan rumahnya. Sikap Pak Amat yang kurang ‘menggigit’ terhadap Baron inilah yang menuai ketidaksenangan Bu Amat. Terjadilah percekcokan panjang setelah Pak Amat dijejali pernyataan tentang kekayaan dan keinginan Baron ketika terjadi pertemuan dua mata dengan Baron.
    Latar cerita pun sangat simpel dan lugas ini sangat kentara lewat suasana yang dibangun. Baik rumah Baron dan pasutri, Pak Amat dan Bu Amat, menjadi tempat di mana kejadian, baik luapan keinginan dan kekuatan Baran yang memiliki uang (kekayaan), dan tempat di mana Bu Amat yang kesal terhadap sikap suaminya yang tidak bisa tegas, walaupun dia sebagai wakil warga.
    Putu Wijaya sangat detal ketika, lewat tokoh Baron, menceritakan tentang arti merdeka dan pembangunan. Mengartikan merdeka 69 tahun adalah dengan melakukan proses pembangunan. Dan itu, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi orang yang memiliki kekayaan lebih.
    “Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah. Negara yang sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang, ikut serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu, kan watak pemalas. Karakter orang jajahan. Kita, kan, sudah 69 tahun merdeka. Kita harus membina karakter kita.”

Sikap ‘keras’ Baron inilah yang menjadi dasaran Bu Amat yang sangat gigih, walaupun tidak memiliki keberanian lebih, menentang rencana Baron membangun hotel, pusat perbelanjaan, lapangan parkir, pertokoan, kolam renang, warnet, kelab malam, dan kafe musik.  
Pemilihan karakter oleh pengarang sangat hitam putih. Artinya, di balik sikap ‘nrimo’ tokoh Pak Amat, sesungguhnya ada sikap bijaksana dari diri sang istri. Ada 2 katakter yang bertolak belakang dalam melihat dan menyikap fonomena dan kejadian yang digulirkan dari pemikiran Baron. Di sinilah kelihaian pengarang dalam menghadirkan beberapa nilai yang nantinya akan diterima pembaca.
Putu Wijaya menjalankan struktur dalam cerpen ini sangat dinamis. Antara maksud yang ingin disampaikan, karakter tokoh, latar, alur cerita, sampai dengan suasana yang ditampilkan. Dia seolah tidak memposisikan sebagai guru yang sedang menjelaskan atau menyampaikan maksud keinginan muluk-muluk. Ide cerita menggelinding begitu saja sehingga pembaca dengan gampang menangkap bola dari nilai yang dimaksud.  
Memang, keterkejutan coba diberikan penulis ketika pembaca mencernah kalimat di akhir cerita:
“Setelah memijat kaki istrinya, sampai tertidur, Amat berbisik: “Orang kecil yang diam juga emas, Bu, kalau memang emas. Tanpa membuka mata, BU Amat menjawab lirih: Tetangga kasak-kusuk Bapak diangkat jadi kepala proyek dengan gaji 50 juta.”
   
    Keterkejutan inilah yang menjadi warna beda yang coba hadirkan Putu Wijaya ketika proses kreatif dalam cerpennya. Gaya objektif dalam pusat pengisahan yang dipadu dengan gaya stream consciousness dalam pengungkapannya. Putu Wijaya sangat pintar dan berani dalam mengungkapkan kenyataan hidup karena dorongan naluri yang terpendam dalam bawah sadar.
    Permasalahan kemanusiaan dan lingkungan menjadi bumbu manis yang membungkus beberapa konflik yang dialami masing-masing tokoh. Antara sisi humanistik yang ditonjolkan, di sisi lain fonomena alam lingkungan menjadi dampak yang harus diselesaikan. Meskipun, dalam cerpen ini, sisi humanistik bisa mengalahkan ‘tanggung jawab moril’ terhadap lingkungan. Ini coba dialami tokoh, Pak Amat.
    Tapi, Putu Wijaya sangat sadar bahwa nilai yang dihadirkan bukanlan energi negatif, tetapi sebenarnya ada stimulasi positif yang akan diraih. Manusia yang memahami lingkungan kalau ingin menyeraskan hidupnya. Inilah pesan moral yang ingin disampaikan.

Nilai Keseimbangan Alam dalam Cerpen Protes
    Dalam cerpen Protes terkandung banyak hal menarik. Penggambaran manusia coba diutarakan berada di persimpangan jalan. Keselarasan hidup dangan ritme alam menjadi topik utama pembahasan.
    Sosok Baron, oleh Putu Wijaya, digambarkan sebagai simbol yang ingin menyampaikan pembangunan sebagai mitos progresivitas. Dia sebagai pihak yang akan merusak keseimbangan alam dengan cara meminggirkan masyarakat lokal. Hal ini terlukis dalam pola pikir tokoh bahwa menganggap pembangunan pusat hiburan di tengah pemukiman penduduk sebagai langkah positif.
“Kenapa mesti ribut. Ini, kan, rumah saya, tanah saya, uang saya?” kata Baron sambil tersenyum. “Apa salahnya kita membangun? Positif, kan?! Ini, kan, nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar. Jadi karyawan, jadi satpam, jadi tukang parkir, dan sebagainya. Paling malang bisa meningkatkan hunian kita yang mati ini jadi ramai. Ini berarti harga lahan akan melonjak …”

Ia mengesampingkan kenyataan bahwa alam dan kehidupan penduduk lokal kena imbas yang pertama dengan rencana pembangunan tersebut. Benturan kepentingan itu disuarakan Putu Wijaya dalam korelasinya dengan keselarasan manusia membangun hidupnya dengan upaya menjaga kelestarian alam dan kearifan lokal.
Keinginan yang menggebu dari Baron, kontan mendapat respon cepat dari tokoh Pak Amat dan istrinya. Meskipun, secara karakter, tokoh istri lebih digambar sebagai sosok yang progresif, meledak-ledak, bila dibandingkan dengan suaminya yang kelihatan ‘loyo’ jika sudah berhadapan dengan Baron di ruang kerjanya.
“Makanya, kalau nyadar kita ini orang kecil, ngomonglah. Keluarkan isi hati. Kalau tidak, pendapat orang lain akan dicantolkan kepada kita. Mau? Mau memikul pendapat cantolan yang bertentangan dengan pendapat Bapak? Tidak kan? Kalau tidak, kenapa diam? Apa susahnya ngomong? Atau Bapak takut? Takut apa? Takut itu perlu, kalau perlu. Kalau salah, boleh takut. Apa Bapak salah? Tidak kan?! Salah apa?! Apa salahnya bertanya, Bapak kan mewakili warga. Bapak dipercaya untuk menyampaikan isi hati mereka.”
    Bu Amat berperan menjadi figur dengan logika cinta lingkungan. Logika yang memandang alam sebagai suatu sumber yang bisa dimanfaatkan (expendable) untuk kepentingan manusia. Konsep ini menggunakan kesejahteraan manusia sebagai alasan utama dari setiap tindakannya. Individu dengan sikap tersebut berpendapat bahwa lingkungan perlu dilindungi karena nilai yang terkandung dalam lingkungan sangat bermanfaat terhadap kelangsungan hidup manusia
    Sosok Bu Amat sangat menghargai alam sebagai suatu koneksitas keselarasan warga dengan lingkugannya. Dia sangat menggebu-gebu menentang dengan cara mendesak suaminya, selaku wakil warga, untuk melakukan protes pada sikap dan keputusan Baron.   
    Tokoh dalam cerpen Protes ini adalah gambaran manusia biasa yang sedang menyuarakan protes terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungannya. Tetapi mereka sangat lemah karena kedekatan dan uang bisa mengubah semuanya.
    Protes yang didengung-dengungkan Ibu Amat, meskipun tidak dihadapan tokoh Baron, menjadi ‘tidak berguna’ dihadapan suami. Suaminya, Pak Amat, pada akhir cerita dikisahkan mengalami perubahan karakter. Dia mengalami round character, tokoh yang dapat berubah. Hal ini dinyatakan secara implisit oleh pengarang ketika dia sudah diajak kerja sama dengan tokoh Baron untuk dijadikan mandor dengan gaji selangit. Di sinilah letak ‘kekuatan’ dari Putu Wijaya ketika memanfaatkan kelonggaran-kelonggaran dalam memanipulasikan para tokohnya.
    Keseimbangan alam dan manusia coba disuarakan tokoh Ibu Amat, meskipun retorikanya tidak pernah didengar maupun dipahami dengan hati oleh suaminya. Berdirinya bangunan megah dengan fasilitas modern tidak serta merta bisa direalisaskan tetapi di sana-sini mendapat pertentangan dan penolakan.
    Dalam cerpen Putu Wijaya ini sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bagiamana mereka bersikap dan berempati. Dalam tulisan Budi Darma yang berjudul Moral dalam Sastra mengatakan bahwa seperti halnya filsafat dan agama, karya sastra juga mempelajari masalah manusia. Karya sastra bertugas untuk membuka kebobrokan untuk dapat menuju ke arah pembinaan jiwa yang halus, manusiawi, dan berbudaya (hal.:79)
   
Logika Antroposentris dalam Cerpen Protes
    Fonomena yang digambarkan Putu Wijaya sebenarnya bukanlah asing di masyarakat. Pembangunan yang mengatasnamakan masyarakat kadangkala juga harus menghadirkan kekecewaan bagi masyarakat sendiri. Penggusuran lahan atau  alih fungsi hutan, kadangkala juga bisa menjadi bumerang bagi masyarakat sendiri. Proses yang sering disuarakan pemerintah daerah maupun pusat pada akhirnya juga banyak yang menjadikan lingkungan tidak bisa berkutik.
    Lingkungan akan terpinggirkan kalau sudah bicara pembangunan. Orang berkuasa bisa saja menjadi lingkungan sebagai anak tiri yang akan mati. Ketika lingkungan dimatika, maka pembangunan bisa dijalankan dan realisasikan dengan optimal.
    Putu Wijaya menghadirkan tokoh Bu Amat, pada hakikatnya, adalah representasi dari pola pikir penentangan-penentangan pada pola pikir keliru tersebut. Lingkungan, bagi tokoh Bu Amat, sangat penting dari pada namanya pembangunan. Lingkungan akan memberikan dampak saling menguntungkan bagi hidup dan kehidupan masyarakat.
    Logika tokoh Bu Amat adalah logika antroposentris. Logika yang mengutamakan bahwa lingkungan memiliki peran utama dalam menjaga kebermanfaatan dan kelangsungan hidup manusia. Maka dari itu, lingkungan tidak boleh diganggu dan dimusnahkan.  
    Lingkungan adalah subjek yang harus dipertahankan kalau ingin keseimbangan hidup ingin dicapai. Inilah kalimat utama yang disuarakan Bu Amat:
    “.. Kita semua hampir digusur dengan menawarkan tebusan ganti rugi satu meter tanah 15 juta. Tapi kita menolak mentah-mentah. Masak hunian kita mau dijadikan hotel dan apartemen.”

Ini menjadi permasalahan besar, walaupun kadang kala akan terkalahkan juga, ketika pembangunan selalu berpihak pada poros kekuasaan. Wong cilik selalu menjadi korban dari pembangunan. Mereka tidak memiliki suara dan hak yang kuat ketika proses ini akan direalisasikan.
Baron sebagai tokoh pemegang kekuasaan (baca: uang) selalu diutamakan. Uang dia bisa menyulap segala bentuk yang diinginkan. Uang bisa menjadikan kekuasaan baru yang bisa memarginakan masyarakat kecil. Uang bisa menghalalkan segala bentuk impian. Impian yang mengatasnamakan mengisi kemerdekaan.
Secara hirarki, pemikiran Putu Wijaya, ini sangat relevan dengan apa yang dialami Indonesia saat ini. Coba, pembangunan mana yang memiliki visi dan misi menjadikan lingkungan dan masyarakat kecil menjadi nomor satu? Menjadi masyarakat kecil sebagai subjek yang akan diuntungkan? Atau, menjadikan masyarakat kecil sebagai orang yang akan diutamakan?
    Logika antroposentris, Bu Amat, dan protes-protesnya adalah kehidupan yang sangat dekat dan erat dengan kita. Lingkungan akan kalah dengan pembangunan hotel, atau apartemen. Lingkungan akan kalah dengan pembangunan swalayan atau perumahan. Lingkungan akan kalau ketika pemerintah mencari solusi bencana banjir. Lingkungan akan kalah ketika dibutuhkan terminal, bandaha, pelabuhan, atau rumah sakit bertaraf internasional.
    Logika antroposentrin adalah logika sederhana tetapi harus menjadi ruh setiap bangsa ketika menginginkan keberlangsungan dan hubungan silogisme masyarakat dan lingkungan bisa sejalan seirama. Membangun tidak harus mematikan lingkungan atau melakukan penggusuran. Membangun seyogyanya harus memandang kebermanfaatan secara general. Dan, lingkungan akan memberikan itu semua, bagi yang menyadarinya.
    Bukankan kita sudah bisa merasakan, ketika hutan beralih fungsi, pegunungan juga sama, maka banjir, tanah longsor, dan bencana lainnya bisa mendera. Bencana semakin banyak mengancam dan mengintai setiap detik dan menit.
    Cerpen Protes karya Putu Wijaya, sebenarnya suara protes dalam sebuah karya pemikiran. Pemikiran yang mencoba menyuarakan kritikan-kritikan pedas dalam balutan cerita. Tokoh imajiner ini sebenarnya adalah gambaran real dari kehidupan yang ada di sekeliling kita semua. Intrik, konflik, ada yang kalah dan ada yang menang, adalah gambaran yang semestinya. Gambaran yang tidak pernah kita lepaskan begitu saja. Inilah yang dinamakan, gelombang nilai dalam kaya sastra.
    Walaupun isi dari cerpen Protes tidak memunyai kegunaan teknis, tetapi ia mempunyai kapasitas membentuk homo yang human, manusia yang berjiwa halus dan berbudaya. Kita akan semakin sadar, bahwa manusia dan lingkungan adalah 2 hal yang harus terus dampingan dalam kehormonisan.
    Manusia akan semakin sadar dan mengerti bahwa akibat-akibat yang menjadi hukum sebab akibat. Di sinilah letak dari jiwa halus itu semua. Cerpen ini bukan sekedar rangkungan sekelumit pemikiran pengarang, tetapi isi di dalamnya telah mengajarkan bagi kita tentang tata nilai keluhuran.
    Di sinilah titik point olahpikir, olahhati, dan olahrasa yang ditawarkan karya sastra. Termasuk suara Putu Wijaya dalam cerpen Protes.
Daftar Pustaka

Darma, Budi. 1988. “Novel Indonesia Sekarang (III)”. Majalah Basis, Edisi Desember 1988, XXXVII, No. 12.

Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Pustaka Pelajar: Yogyakarya.

Kuntowijoyo. 1984. “Penokohan dan Perwatakan dalam Sastra Indonesia” dalam buku Budaya Sastra. Jakarta: Rajawali. hal. 131.

Ratna,  Prof. DR. Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitin Sastra dari Strukturalisme hingga Poststrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Girimuka Pusaka.

Wijaya, Putu. 2014. “Protes”. Kompas, Minggu, 23 November 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar