Let the children play, because it
is their world. Ini kuncinya. Bermain, bagi anak, adalah dunia yang bisa mengantarkan
pada growing, rasa senang, menggembirakan, tidak tertekan, dan
mengasyikan. Hakikat yang paling sejati dengan bermain adalah kualitas diri
anak dapat terfasilitasi, mulai dari belajar berekspresi, berimajinasi, berempati,
beradaptasi, bahkan mengenali pribadi dengan jeli.
Bermain
adalah masa atau proses anak dalam mengaktualisasikan diri. Mindset ini
harus dipahami dan dimengerti oleh setiap orang tua maupun para pendidik.
Karakter bermain haruslah dijadikan roh atau magnet ketika kita mau memberikan
energi positif, semangat atau passion, terhadap talenta apa yang
dimiliki anak.
Bermain
sama saja kita akan mengajak anak untuk berlatih mengekplorasi diri. Meningkatkan
kompetensi untuk lebih maksimal dan terarah. ‘Menskenario’ dalam merekonstruksi
kreativitas, dan daya potensial untuk menciptakan olahhati, olahpikir,
olahrasa, dan olahraga pada diri anak.
Esensi
yang paling signifikan dari permainan adalah teamwork. Artinya, pola
atau jenis permainan yang nantinya dilakukan oleh anak, mampukah kita sebagai
orang tua atau para pendidik bisa dan mau menyisihkan waktu menjadi teman sejati
atau menjadi team ketika mereka mulai fokus terhadap permainannya.
Ini
menjadi sangat penting. Karena, ketika diri kita sudah ‘menyepakati’ menjalin
teamwork dengan anak, kita akan lebih mudah untuk mengarahkan, memrovokasi,
dan meng-connected, alur permainan untuk menjadikan lebih berarti (meaning
full).
Jangan
sampai, gairah permainan semakin mematikan kreativitas dan anak hanya
menghabiskan waktu bermenit-menit bahkan berjam-jam tanpa adanya integritas,
antara thing, say, dan do yang mereka lakukan.
Ketika
anak sudah ‘terlena’ dengan dunia bermain, sebenarnya itu adalah area yang
sangat bagus, tepat untuk kita memberikan muatan-muatan edukatif dan respon
positif. Muatan edukatif dan respon yang nantinya memberikan nilai lebih dari
makna bermain anak.
Ketika
anak bermain ‘pasar-pasaran’, semisal.
Orang tua bisa memposisikan diri sebagai teman dan mulai sisipi atau
mengalirkan pelajaran matematika, bahasa, atau sosial. Mulai dari proses hitung-hitungan
harga jual beli, bagaimana bahasa pembeli kepada penjual, sampai dengan proses
tawar-menawarnya.
Supaya
anak tidak merasa dunia bermainnya sedikit ‘diganggu’ oleh campur tanggan orang
tua, kita harus bisa menempatkan diri dengan tepat dan lebih cerdas. Gunakan
pendekatan, gerakan tubuh, sampai olahbahasa atau olahtutur, benar-benar sesuai
dengan alur anak.
Itu
adalah kekuatan dari belajar sambil bermain. Anak dengan sendirinya akan
merekayasa kemampuan-kemampuan yang dimiliki. Mereka akan sangat alamiah ketika
bercas-cis-cus dalam dunia bermainnya. Mereka akan mengolah kemampuan tanpa
rasa takut untuk melakukan kesalahan. Bagi mereka, dalam bermain, tidak ada
yang salah. Semua aktivitas dianggap sah dan akan terus dilakukan untuk
membangun dunia mimpinya dalam permainan.
Melatih
anak untuk meningkatkan menulis cerita adalah seperti halnya kita melatih anak
untuk bermain. Melatih anak untuk mengasyikan diri. Melatih anak untuk memahami
diri. Melatih anak untuk bersosial.
Mengarahkan
berpikir abstrak mereka menjadi berpikir realitas tanpa menghilangkan
unsur-unsur imajinatif yang segar dan menggoda. Dari paradigma inilah, kita
perlahan-lahan memberikan perasaan positif, mendedikasikan arti kesuksesan, dan
menguatkan pondasi rasa percaya diri anak.
Menulis
cerita tidak perlu kita bayangkan sesuatu yang rumit dan njelimet.
Menentukan tema, tokoh dan perwatakannya, alur, setting cerita, gaya bahasa, sampai
dengan suasana pendukung cerita.
Teori
dari unsur intrinsik cerita tersebut kita kesampingkan terlebih dahulu. Ingat,
dunia anak bukanlah dunia teori sentris. Tidak usah risau dan galau. Tataran
keilmuan nantinya akan terbangun dengan sendirinya seiring berkembangnya
wawasan dan sejauh mana kita memoles dan memberikan sentuhan terhadap kemampuan
anak.
Fokus kita sekarang adalah, bagaimana anak
memiliki kemampuan dalam olahfantasi dan imajinasi lewat perantara kegiatan
bermainnya.
Melatih
menulis cerita pada diri anak harus memiliki kesabaran dan ketelatenan yang
sangat tinggi. Orang tua atau para pendidik tidak bisa mengajari anak/muridnya
dengan cara yang otoriter. Artinya, anak kita jadikan sebagai sasaran objek
yang harus menyelesaikan proyek menulis tanpa adanya mekanisme atau
tahapan-tahapan pembelajaran yang mudah dipahami.
Tidak
sekedar menentukan tema. Selanjutnya anak diwajibkan atau diharuskan
menyelesaikan kegiatan menulis dengan bahasa yang baik dan benar.
Ini
sama dengan mematikan kreativitas bercerita. Anak kita paksa. Imajinasi
ditekan. Kreativitas dikekang. Yang muncul adalah ketakutan-ketakutan anak
dalam memulai menulis. Ketakutan anak dalam mengutarakan apa yang pernah dirasakan,
dilihat, dan dialami.
Melatih
menulis cerita sama saja sejauh mana kreativitas kita dalam ‘ngudang’
anak. ‘Ngudang’ supaya mereka tidak takut salah dalam menorehkan daya
dongengan dalam bentuk tulis.
‘Ngudang’ anak supaya mereka
berani menggunakan imajinasi liarnya dalam bercerita. Untuk itu, piranti yang
harus kita sediakan adalah kekuatan
stimulasi atau daya rangsang. Anak harus diberikan stimulasi awal untuk bisa
membangkitkan daya imajinasinya.
Ya,
stimulasi itulah yang dinamakan permainan. Permainan yang mampu merangsang otak
kanan anak. Permainan yang diharapkan bisa menginspirasi proses belajar (learn).
Stimulai,
seperti verbal, visual, auditif, maupun taktil, yang
dimunculkan dalam permainan haruslah mengandung unsur menyenangkan dan
dinikmati (pleasurable and enjoyable).
Hal ini sangat berefek pada optimalisasi proses menulis cerita lebih lanjut.
Empati
dan imajinasi anak mulai fasilitasi lewat pancingan-pancingan sederhana.
Permainan-permainan sederhana yang mampu mengatrol potensi dan kemampuan anak.
Yang pada titik akhirnya, anak mampu mem-planning daya deskripsi
(menggambarkan), eksposisi (menjelaskan), dan narasi (menceritakan) pengalaman
yang pernah dialami, dilakukan, atau dirasakan.
Kita
pasti pernah mengajak anak kita ke pantai. Merasakan angin sepoih-sepoih
bersama-sama. Mendengarkan deru ombak dan melihat perahu nelayan berlayar
dengan santainya. Bermain di tepi
pantai, membangun rumah atau benteng dari pasir putih.
Pernah
kita berpikiran setelah kejadian itu? Pernahkah kita ‘ngudang’ anak
untuk berani bercerita tentang pengalamannya di pantai yang mengasyikan
tersebut. Pernahkah kita menjadikan permainan di pantai itu sebagai stimulasi
dalam melatih anak untuk mendongeng secara lisan maupun tulis?
Sangat
mengasyikkan kalau moment permainan tersebut kita abadikan sebagai media
edukatif berbahasa. Memancing kemampuan bercerita anak. Bagaimana saat pertama
menginjakkan kaki di bibir pantai, tubuh diterpa angin, melihat ombak
bekejar-kejaran di lautan, perahu berlayar, saat rumah yang dibangun dari butir
pasir dikikis air, sampai dengan merasakan hangat terik matahari.
Tanpa
kita sadari, anak akan bercerita dengan lancarnya. Dia akan memaparkan secara
rinci apa yang sudah dilakukan dalam permainan. Dia akan berorasi sampai kita
mengalami kesulitan untuk menghentikannya.
Kita
(baca: orang tua/pendidik) tidak perlu risau terkait dengan penggunaan kata
atau kalimat yang mereka gunakan dalam berbahasa (baik lisan maupun tulis).
Penggunaan
perulangan kata yang sama pada tiap paragraf tidak perlu kita khawatirkan. Biarkan
saja. Biarkan saja mereka mencari dan menemukan jati diri berbahasa secara
mandiri. Beri kebebasan anak untuk mencurahkan isi hatinya. Apa yang dia lihat,
dengar, rasakan, dan dia raba ketika berada di pantai itu.
Biarkan
anak mengeksplorasi kemampuan berceritanya. Biarkan anak belajar dari
pancaindera yang dirasakan secara keseluruhan. Kita jangan mengintimidasi
bahasa dan imajinasi anak.
Biarkan
anak merekonstruksi kesenangan menjadi
bahasa imajiner. Menstruktur pola dan logika mereka menjadi bangunan-bangun cerita yang
menakjubkan dan berkarakter.
Setelah
itu, kita akan mendapatkan portofolio hasil karya anak. Hasilnya, luar biasa.
Anak, tanpa kita sadari, dia begitu mahir bercerita, mahir mengolah kata
menjadi rangkaian kalimat. Menceritakan ide pemikiran yang di luar dugaan kita
sebelumnya.
Selanjutnya,
tugas kita terakhir adalah mengapresiasinya. Orang tua dan pendidik kelihatanya
sangat minim menggunakan wahana MERAYAKAN tersebut. Padahal, fase itu sangat dekat
dengan dukungan moril. Di dalamnya terdapat unsur semangat atau motivasi secara
ekstrinsik. Dan itulah yang dibutuhkan anak dalam membentuk karakter berkarya
dan berkreasi.
Kita
harus membiasakan diri menggunakan kekuatan ‘KAIZEN’. Sebuah kekuatan orang
Jepang dalam menghargai/memperbaiki dari yang kecil-kecil, berkesinambungan,
dan terus menerus.
Minimal
dengan kata-kata “Bagus”, “Luar biasa”, atau “Tulisan kamu, OK”. MERAYAKAN hal
kecil yang sudah dilakukan oleh anak. Sudah cukup. Anak tidak membutuhkan
hadiah yang mahal. Anak hanya perlu diperhatikan. Butuh pengakuan dari kita
bahwa dia bisa. Bahwa dia mampu.
Sekali-kali
karya tulis anak perlu pampang di pigora atau kita tempel di pintu kamar
tidur anak. Dia akan memiliki banggaan. Karyanya bisa menghiasi rumah meskipun
masih di area yang kecil.
Secara
tidak kita sadari, motivasinya mendadak berlipat ganda. Eksistensi anak
tercipta. Lebih percaya diri. Dia seraya memiliki mimpi. Memiliki opsesi untuk
menjadi penulis. Memiliki karya. Mencipta buku dan terkenal.
Inilah
kekuatan permainan dalam melatih menulis cerita. Lewat permainan, kita bisa mengasa
talenta-talenta anak. Lewat permainan, kita akan belajar menghargai, memahami,
dan mengenal jati diri anak. Lewat permainan pula, kita akan mengetahui
keahlian atau kegemaran anak yang harus kita kembangkan ke depan.
Anak
salah itu biasa. Yang tidak boleh adalah anak berbuat dosa. Melatih anak
menulis cerita pasti berangkat dari kesalahan-kesalahan. Tidak perlu risau atau
takut.
Seiring
berjalannya waktu, anak akan mengetahui sendiri kesalahannya. Itu proses.
Biarkan saja dulu. Kita harus menjadi guru yang telaten. Jangan keras
atau menggunakan nada tinggi ketika anak melakukan kesalahan. Perlahan-lahan
kita masuk dan memberikan arahan, bukan membetulkan. Kita memberikan
rambu-rambu dan anak yang menjalankan. Dan seterusnya, anak akan belajar dengan
sendirinya.
Melatih
menulis cerita sama saja mengajari anak mendongeng tentang AKU dan
sekelilingKU. Melatih menulis cerita adalah sama halnya kita memberikan nilai
pada makna pengalaman yang pernah dialami anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar