Profesi guru adalah profesi adiluhung,
menurut saya. Profesi yang tidak pernah habis atau mati. Tidak pernah selesai
dalam batas ruang dan waktu. Tetapi keadiluhungan tersebut harus kita letakkan
pada pengertian, guru yang bukan hanya sebatas pada tataran memberikan
pengajaran. Terus selesai. Tetapi pemaknaan guru harus kita posisikan pada kata
membimbing berkelanjutan. Pada proses holistik.
Menurut saya, bangsa yang besar adalah
bangsa yang memiliki guru berkualitas. Mengedepankan pada pencerahan anak
bangsa. Mengedepankan aplikasi, inovasi dan bukan hanya sekedar tataran teori.
Di sinilah, sebenarnya letak permasalahan
bangsa sekarang. Mengapa? Rawannya sumber daya manusia Indonesia ke depan
adalah terletak pada benar dan tidaknya guru-guru kita dalam mengemban dan
menjalankan profesionalitasnya. Terarah dan tidaknya target ketercapaiannya.
Berhasil atau tidaknya rantai pengajarannya. Jangan sampai pendidkan hanya
sebatas retorika. Omong kosong tanpa tindakan nyata.
Menurut saya, pertanyaan bagaimana
menjalankan profesi guru di era sekarang, akan lebih tepat dan aktual daripada
pertanyaan, sudahkan Anda mengikuti sertifikasi ? Mengapa demikian ? Kata
’menjalan profesi’ merupakan deretan kata kerja yang menjurus aplikasi dan
bermuara pada hasil yang akan dicapai. Ini adalah manifestasi dari metode,
cara, bentuk, strategi, teknik yang kita lakukan dalam ruang lingkup pendidikan
kita.
Ketika
saya menjadi guru, saya tidak berhenti untuk mencoba. Sampai akhirnya, saya
mempraktikan konsep 5 W + 1 H ke siswa. Pembelajaran lebih terarah dan
mempermudah saya dalam merancang untuk mencapai target.
Pertama, what, apa. Apa yang harus
menjadi menu pertama dan utama untuk siswa ? Hal apa yang sangat penting yang
seharusnya kita berikan pada peserta didik ? Lewat pertanyaan ini sebenarnya
memiliki keterkaitan langsung dengan sistem pendidikan atau kurikulum yang
menjadi rujukan dalam pendekatan pendidikan. Hal yang terkaitan dengan standar
kompetensi, kompetensi dasar, indikator pembelajaran, sampai dengan hasil yang
dicapai siswa lewat pembelajaran, setidaknya mulai awal bisa terjawab.
Untuk itu, saya harus memilah dan memilih,
hal apa yang kompetensi dan tidak kompetensi dalam daftar menu harian siswa. Ujian
pertama cukup itu.
Kedua, who, siapa. Objek
pembelajaran kita adalah peserta didik. Siswa. Mereka sangat kompleksitas.
Mulai etika, estetika, moral, prilaku sampai-sampai nilai-nilai kehidupannya.
Mereka bukan benda mati yang mengedepankan sikap pasif dan menerima.
Mengubah manusia lebih memiliki tantangan
daripada menghadapi benda mati yang memiliki sifat diam dan menunggu. Ketika
produk bendanya kurang maksimal, mungkin
bisa langsung dipermak ulang. Dipoles. Diproduksi lagi dan setrusnya sampai
menghasilkan barang yang memiliki nilai jual tinggi. Memproduk manusia tidak
bisa dianalogikan seperti membalikan telapak tengan. Langsung jadi. Peserta didik
memiliki proses rasionalitas yang tinggi. Tidak bisa, bim salabim, langsung
jadi manusia yang super. Manusia yang genius.
Menurut Sindhunata dalam buku Dilema Usaha
Manusia Rasional, akal budi akan digunakan sebagai sarana dan alat untuk
memperhitungkan segala, mempertahan diri, dan membuahkan kegunaan sesuai dengan
tujuan. Mengubah budaya dan akal budi adalah sebuah perenungan yang harus
terjawab ketika kita bertemu dengan siswa. Kapan dan di mana pun.
Saya harus memberikan sentuhan pengalaman
dari kita daripada meletakkan ratusan rumus di kognisi mereka. Saya akan
memberikan bimbingan daripada menyelesaikan soal-soal yang mengedepankan pemikiran
pendek, naik kelas atau lulus dengan nilai memuaskan. Saya lebih mengutamakan cara
kerja atau proses yang matang daripada pemecahan secara instan.
Saya menyadari, mereka memiliki potensi
ledakan. Kita harus bisa dan mampu mengasah dengan benar. Mereka akan menjadi
manusia berpendidikan. Manusia yang mampu berbudaya dan berakal.
Ketiga, where, di mana. Apa
kaitannya kata tanya ini dengan saya sebagai guru ? Saya mengajar di daerah
Gresik. Daerah yang memiliki pontensi pembelajaran kontekstual. Mulai dari ekonomi,
budaya, sejarah, seni, sistem pemerintahan, perdagangan, pariwisata, sampai
manusianya. Maka, saya tidak perlu repot mencari objek pembelajaran ke luar
daerah. Pembelajaran akan saya fokuskan pada objek tersebut. Mulai mengenalkan,
mempelajarai, mengkaji, dan pengolahan data berkaitan sisi tinjauan
pembelajaran yang dikaji dan dipelajari.
Keempat, why, mengapa. Pertanyaan
ini menjurus pada alasan dari hal yang dilakukan. Pembelajaran kontekstual
adalah pembelajaran terkini, menurut saya. Pembelajaran yang mengarah pada
lingkungan dan permasalahannya. Logis, menurut saya, kalau siswa didik
diberikan bekal pengenalan terhadap cara pandangan lingkungan sendiri. Mengenalkan
sistem pemerintahan daerah, mempelajari seni, budaya, dan sejarahnya, merekap
data ekonomi dan perdagangannya, melihat sisi pariwisata sebagai pemasukan
devisa daerah, sampai mengenal watak dan sifat manusianya adalah pembelajaran
yang sangat berharga. Siswa akan lebih membumi. Mereka akan lebih mengenal
’rumah sendiri’ sebelum mengenal lebih luas dan jauh pada lingkungan mereka
nanti.
Kelima, when, kapan. Kalau teori
tentang pembelajaran hanya mengangkasa. Kalau praktik pembelajaran hanya
sebatas lembaran-lembaran kertas saja, saya yakin siswa nantinya hanya diajari
bermimpi. Atau berangan-angan saja. Supaya siswa kita tidak menjadi generasi
pemimpi, pembelajaran terkini yang menitikberatkan pada siswa harus kita mulai
sekarang juga. Apa itu inovasi pembelajaran atau kreativitas dalam metode
pengajaran ?
Keenam, how, bagaimana. Pertanyaan
ini adalah kata kunci dari metote pembelajaran, menurut saya. Berkaitan dengan
cara dan praktik yang dilakukan untuk menenuhi target yang dinginkan. Kita
semua menyadari, bahwa dunia pendidikan memiliki ruh dalam mencetak, membangun,
dan mengarahkan generasi mendatang.
Untuk mengantisipasi sering bergantinya
kurikulum, sebaiknya kita menggunakan kurikulum terkini saja, menurut saya.
Yaitu kurikulum yang mengarah, menitikberatkan, dan memusat pada siswa sebagai
objek pembelajaran.
Kurikulum yang tidak pernah usang adalah
kurikulum yang mengutamakan praktik aplikasi ketimbang ceramah tentang teori. Tapi,
kita harus ingat bahwa kurikulum adalah benda mati. Maka dibutuhkan orang yang
mampu menjalankan dan menerapkan sehingga sasaran bisa tercapai. Untuk itu,
dibutuhkan guru yang at home. Guru yang memiliki dedikasi dan orientasi
pada inovasi pembelajaran.
Siswa jangan terlalu dikungkung di dalam
kelas manakala sedang mempelajari sejarah atau sistem pemerintahan daerah.
Siswa jangan disuruh duduk rapi di meja kalau sedang mempelajari kesenian atau
penelitian. Ajaklah mereka ke objek pembelajaran nyata. Saya yakin mereka akan
lebih enjoy. Lebih memiliki logika imajinasi yang nyata. Lebih
merasakan. Lebih mengetahui secara rinci. Bisa menyentuh objeknya. Bisa
memandang sampai pengamatan sendiri baik secara individu atau kelompok.
Siswa bukan kelinci percobaan. Mereka
adalah ladang subur yang harus kita tanami sesuai dengan jenis tanah dan
memberikan pupuk yang sepadan dan berkualitas. Tanaman itu namanya konsep yang
benar. Pembelajaran yang benar. Setelah itu dibutuhkan pupuk yang namanya
aplikasi nyata. Kerja nyata.
Inilah, pendidikan yang kita idam-idamkan.
Pendidikan untuk pencerahan. Pendidikan yang kontekstual.
5 W + 1 H adalah alat bagi saya dalam
mengajar. Kendaraan saya dalam mentransformasi ilmu ke siswa. Yang namanya alat
atau kendaraan, berarti memiliki ketergantungan siapa yang menggerakkan dan
siapa yang mengendarai. Saya merasa, konsep tersebut memiliki nilai tersendiri.
Dengan konsep 5 W + 1 H, saya merasakan,
bahwa profesi guru adalah pekerjaan yang penuh tantangan tapi mengasikkan. Dan
konsep itulah yang membawaku menjadi guru sampai sekarang ini.
Aku bangga menjadi guru. Kebanggaanku ini mungkin
juga dirasakan ratusan bahkan oleh ribuan guru lainnya. Mudah-mudahan.
Biodata Penulis:
Nama :
Ichwan Arif, S.S.
Guru :
SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik
Mengajar :
Bahasa Indonesia
No. Rekening : 0487008083 Bank Syariah Mandiri Cabang Gresik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar