Ketika
mengajar proses kreatif, hal luar biasa saya dapatkan secara tidak sengaja.
Tanpa diperkirakan sebelumnya. Saya menyampaikan bahwa proses kreatif adalah
proses di mana seseorang mampu berpikir yang berbeda dengan yang lain. Ide yang
unik dan menarik. Ide yang belum pernah disampaikan atau dibuat oleh orang
lain. Itulah kalimat pembuka saat menghadapi 30 siswa. Pada bagian akhir
pembuka, saya menutup dengan kalimat, “Proses kreatif adalah sesuatu yang amazing.”
Selesai
saya mengucapkan kalimat tersebut, siswa di deretan paling belakang mengangkat
tangan dan berkomentar dengan nada sedang. “Berarti, proses kreatif itu adalah
ide biasa menjadi luar biasa.” Pandangan 29 siswa lainnya menantap ke arah
siswa tersebut. Beberapa detik kemudian siswa tersebut melanjutkan tuturnya.
“Berarti tidak apa-apa kalau saya menggambar pelangi tidak menggunakan warna mejikuhibiniu?”
Semua anak tertawa.
Saya
terdiam sebentar. Tertekun. Memutar otak untuk mencari jawaban yang pas dan
cocok untuk saya sampaikan kepada siswa tersebut. Saya harus mencari jawaban
dengan kata sederhana sehingga dimengerti dan dipahami. Bukan hanya untuk siswa
yang bertanya tetapi untuk dimengerti semua.
Sejurus
kemudian, saya mengambil 2 helai kertas yang tergeletak di meja. Saya mulai
menata kalimat. Dengan sedikit gaya, saya mulai bertutur. “Seorang penulis yang
kreatif, 2 kertas putih ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk membangkitkan
imajinasi luar biasa dalam menulis cerita.” Selanjutnya saya melipat kertas
tersebut sampai terbentuk seperti pistol.
“Bagi
penulis yang kreatif, ini adalah pistol kaliber 9 mm yang bisa menembakkan 20
pelor dalam hitungan detik. Pistol itu sangat canggih yang bisa mendeteksi
sasaran tembak dengan tepat. Karena tipis, pistol tersebut bisa ditempatkan dan
diselipkan tanpa ada orang yang curiga dan mengetahui. Pistol itu layaknya
dibawa oleh satuan polisi kita untuk bisa mengejar para pembobol ATM,
perkantoran, sampai dengan para koruptor yang melarikan uang negara,” ujar saya,
berapi-api.
“Pistol
itu juga bisa dijadikan alat deteksi kebohongan bagi para koruptor ketika
diintrogasi petugas,” cetus siswa. “Iya, betul. Pistol ini amat canggih dan
multifungsi,” jawab saya, singkat, menanggapi pertanyaan tersebut, sambil
menyelipkan pistol kertas di saku kanan celana saya.
Luar
biasa. Respon positif siswa telah membawa pada pemahaman dan kebertahuan mereka
tentang wawasan yang saya berikan. Mereka mulai belajar logika. Sedikit
sentuhan mereka akan memiliki kekuatan mahadahsyat. Kita tinggal menunggu waktu
saja, mereka akan menjadi penulis besar. Perasaan itulah yang terbersit dalam
pikiran dan anggan-angan.
Mengajarkan
bahasa Indonesia, khususnya materi menulis, memang butuh keseriusan dan kesabaran.
Membimbing, mengarahkan, motivasi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
mengapresiasi setiap hasil proses kerja yang dilakukan siswa. Prinsipnya,
mengajar menulis adalah kita harus rela dan berbesar hati untuk menjadi teman
dan sahabat dekat anak. Prinsip inilah yang selama ini saya praktikan sehingga
siswa merasa tidak ada ketakutan dalam menuangkan ide dan gagasannya. Itu
Utama.
Dunia
anak adalah dunia visual. Mengajarkan menulis tidak bisa abstrak. Apalagi
dibarengi dengan penggunakan bahasa dan teori yang tinggi. Cukup buat mereka
bisa ‘melihat’ dan bisa memraktikan visual tersebut. Membuat siswa bisa
‘melihat’ adalah dengan strategi khusus, yaitu buat metode dan media yang dekat
dengan anak. Buat mereka senang dulu sehingga pancaranan pencitraan
(pemanfaatan pancaindera) siswa bisa merespos. Respon inilah yang kita harapkan
agar ide-ide segar anak bisa mengalir laksana air.
Memperkenalkan
dunia menulis adalah obsesi saya pertama semenjak menjadi guru. Dunia menulis
harus menjadi dunia anak. Dunia menulis harus menjadi dunia di mana siswa bisa
berkreasi, berimajinasi, berinonasi, kompetisi di bidang ide dan gagasan, dan
berprestasi.
Dalam
proses belajar, kita harus menghindari ungkapan kalimat tanya, “Bagaimana cara
menulis yang baik adalah?” Atau “Cara membuat judul yang baik adalah?” Ungkapan
tersebut secara tersirat memuat teori dan biasanya dalam pikiran anak harus
dihafal dan ditulis buku catatan karena akan keluar dalam ujian. Guru dan siswa
terasa masih ada sekat. Jurang pemisah. Di dalam kelas masih bisa menjadi ruang
belajar yang ‘normal’.
Saya
selalu menggunakan kalimat “Ayo, menulis!” Kalimat tersebut sangat sederhana
dan memilik kandungannya yang sangat dalam. Kalimat tersebut selain berisi nada
menyemangati, secara psikologis, siswa mereka diorangkan. Guru bisa
memposisikan sebagai teman belajar yang ‘normal’. Secara tidak langsung, guru
bisa memanfaatkan situasi tersebut untuk mentrasnfer ilmu, khususnya bagaimana bagaimana
cara menulis dengan gaya menarik? Bagaimana trik dan tips menulis cerita yang
baik? Sampai dengan mengenalkan konsep 5 W + 1 H.
Penulis
adalah dunia kreativitas. Kalimat ini yang sering kali saya sampaikan kepada
semua siswa di kelas. Setiap kali saya masuk kelas selalu saya ulang-ulang.
Sampai-sampai dalam kelas tersebut seperti redaktur surat kabar/majalah yang
siap dengan kerja praktik dalam meliput berita.
Membangun
pola pikir adalah standar dasar yang saya berikan kepada siswa. Bahwa menulis
adalah sebuah kebutuhan dan tantangan. Belajar menulis adalah belajar tentang
hidup. Belajar menulis adalah belajar mengatur strategi. Strategi bagaimana
siswa mampu menjalankan rutinitas dalam kehidupan.
Untuk
itu, saya selalu memberikan tantangan-tantangan baru dalam belajar di kelas.
Tantangan tersebut diharapkan menjadi motivasi dan menggugah rasa ingin tahu
siswa. Tantangan pertama adalah
reportasi penambang batu di wilayah gunung kapur yang berjarak 1 km dari lokasi
sekolah.
Tantangan
tersebut direspon luar biasa. Secara mandiri mereka membentuk kelompok kecil.
Ada yang menjadi penulis, pewawancara, dan fotografinya. Menyiapkan tape recorder dan perlengkapan pendukung
lainnya. Mereka siap menjadi wartawan cilik yang profesional. Pada
pelaksanaannya, mereka kerja sama memburu berita. Semua personil wartawan cilik
bahu-membahu dalam mengorek keterangan mulai dari nama, penghasilan, keluarga,
suka duka, lama kerjanya, sampai dengan prinsip dalam hidupnya.
Sesampai
di sekolah, mereka tidak berhenti berpikir. Mereka melakukan rapat redaksi
untuk bisa menghimpun berita yang lengkap. Setelah data dan informasi dibuat
dengan lengkap, mereka siap menerbitkan dalam mading kelas. “Bagaimana perasaan
kamu tentang kegiatan yang baru kamu lakukan?” tanya saya pada salah satu siswa.
“Bangga, Pak. Liputan kelompok saya di baca seluruh siswa.” Jawabnya singkat,
sambil tersenyum. Saya bangga tidak terhingga mendengarnya.
Tantangan
pertama dilalui dengan sempurna oleh seluruh siswa. Tantangan kedua harus lebih ‘gila’ (menurut saya).
Tugasnya adalah siswa harus memburu berita dengan bantuan foto. Tiap kelompok
diberi tema foto yang akan diambil. Mulai dari pencemaran limbah dan polusi,
transaksi jual beli di pasar, anak jalanan, pekerja di pelabuhan, sampah dan
problematikanya, serta transportasi. Siswa harus memburu foto yang menarik dari
masing-masing tema yang diberikan. Dari hasil foto tersebut siswa harus membuat
ilustrasi dan deskripsi (caption)
dari gambar foto yang diambil.
Tantangan
belum selesai sampai di situ. Setelah mengambil gambar foto dan membuat naskah
ilustrasi dan deskripsi, masing-masing kelompok harus memamerkan hasil karyanya
di halaman sekolah. Mereka harus mempresentasikan kepada setiap siswa yang
mengunjungi stand mereka.
Ya,
mereka selain belajar kerja sama, mengasah nalar dan logika, mereka juga harus
belajar tanggung jawab. Mereka mencari objek foto, membuat ilustrasi dan
deskripsi yang pas dengan objek. Bagaimana menjadikan gambar foto yang bisa
berbicara dengan lengkap. Inilah faktor kesulitas pada tantangan kedua.
“Bagaimana
kesan kamu setelah melakukan kerja menjadi wartawan cilik?” tanya saya pada
siswa disela-sela pameran foto. “Menulis adalah dunia yang penuh tantangan.
Saya banyak belajar. Terima kasih telah diberi kesempatan untuk membuat
liputan, Pak,” jawabnya. “Sama-sama,” jawab pendek saya, sambil berjabat
tangan. “Anda adalah seorang pemimpin,” tambahku.
Tantangan
kedua lulus. Siswa dengan cekatan mampu menerjemahkan dan melaksanakan dengan
baik. Tantangan ketiga grafiknya
harus dinaikan. Uji nyalinya harus lebih. Lebih komplek dengan faktor kesulitan
harus berbeda. Pengalaman ide harus dikedepankan. Ya, ide ‘gila’ harus
dinomorsatukan.
Ide
membuat tantangan ketiga berawal ketika saya melihat tayangan di salah satu
stasiun televisi. Pada waktu itu televisi swasta menayangkan festival film
indie. Saya ikuti tayangan tersebut dengan seksama. Mulai dari ide cerita dan
kemasan alurnya. Dalam benak saya terbersit, bisa tidak anak SMP membuat film
indie?
Pikiran
tersebut terus mewarna setiap langkah kerja saya di sekolah. Sampai suatu saat
ide gila tersebut saya sampaikan ke seluruh siswa. Kaget bukan kepalang, ketika
seluruh siswa memberikan repos positif. “Bisa, Pak!” Secara tidak sengaja,
keluar kalimat dari mulut saya, “Jangan bohong, kamu!”
Ini
adalah motivasi bagi saya. Innovation ot
die. Saya pun merancang strategi. Pertama, anak harus merumuskan dalam
bentuk naskah drama dalam bentuk skenario film. Kedua, memberikan arahan proses
pengambilan gambar dan kesiapan siswa dalam meragakan alur cerita.
Lokasi
shooting film indie dilaksanakan di
sekolah. Tema yang diangkat siswa beragam. Pesan yang ingin disampaikan dalam
film indie pun dikemas dengan rapi. Muatan moral tetap menjadi nomor satu.
Sekitar
2 minggu siswa bisa merampungkan pembuatan film indie. Akan lebih menarik, saya
mengemas dalam bentuk festival. Ya, supaya ada greget dan ada unsur kompetisi. Kemasan Festival Film Indie (FFI) saya
samakan dengan pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI). Ada karpet merah, MC,
pembaca nominasi pemenang, dan hadiah bagi para pemenang yang pasti.
Hasilnya
diluar perkiraan. Empat film indie dengan judul The Gank vs Asongan, Rendevous, Kelas Misteri, dan We vs Teacher berhasil diproduksi
secara mandiri oleh siswa. Festival berjalan sesuai skenario. Antusias siswa
luar biasa. Beberapa media sempat meliput suasana FFI. Ini adalah kebanggaan
bersama. Utamanya adalah siswa sudah berhasil berpikir dan beraplikasi ilmu. “Sukses
itu akan datang ketika kita sudah belajar, berusaha dengan semangat baja, dan
doa,” Kalimat itulah yang sampaikan ketika membuka acara FFI.
Berangkat
dari ide nyeleneh, menggambar
pelangi, menjadi motivasi saya untuk memgembangkan dan memberikan pengalaman
hidup pada diri siswa. “Jangan tanya apa yang diberikan ke sekolah untuk saya,
tetapi apa yang bisa saya berikan lebih untuk anak didik saya.” Ini adalah
kata kunci. Utama dan pertama.
“Terima
kasih, pelangimu telah menginspirasiku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar