1 Feb 2013

Melatih Menulis Cerita dengan Cerdas melalui Permainan


Let the children play, because it is their world. Ini kuncinya. Bermain, bagi anak, adalah dunia yang bisa mengantarkan pada growing, rasa senang, menggembirakan, tidak tertekan, dan mengasyikan. Hakikat yang paling sejati dengan bermain adalah kualitas diri anak dapat terfasilitasi, mulai dari belajar berekspresi, berimajinasi, berempati, beradaptasi, bahkan mengenali pribadi dengan jeli.
Bermain adalah masa atau proses anak dalam mengaktualisasikan diri. Mindset ini harus dipahami dan dimengerti oleh setiap orang tua maupun para pendidik. Karakter bermain haruslah dijadikan roh atau magnet ketika kita mau memberikan energi positif, semangat atau passion, terhadap talenta apa yang dimiliki anak.
Bermain sama saja kita akan mengajak anak untuk berlatih mengekplorasi diri. Meningkatkan kompetensi untuk lebih maksimal dan terarah. ‘Menskenario’ dalam merekonstruksi kreativitas, dan daya potensial untuk menciptakan olahhati, olahpikir, olahrasa, dan olahraga pada diri anak.
Esensi yang paling signifikan dari permainan adalah teamwork. Artinya, pola atau jenis permainan yang nantinya dilakukan oleh anak, mampukah kita sebagai orang tua atau para pendidik bisa dan mau menyisihkan waktu menjadi teman sejati atau menjadi team ketika mereka mulai fokus terhadap permainannya.
Ini menjadi sangat penting. Karena, ketika diri kita sudah ‘menyepakati’ menjalin teamwork dengan anak, kita akan lebih mudah untuk mengarahkan, memrovokasi, dan meng-connected, alur permainan untuk menjadikan lebih berarti (meaning full).
Jangan sampai, gairah permainan semakin mematikan kreativitas dan anak hanya menghabiskan waktu bermenit-menit bahkan berjam-jam tanpa adanya integritas, antara thing, say, dan do yang mereka lakukan.
Ketika anak sudah ‘terlena’ dengan dunia bermain, sebenarnya itu adalah area yang sangat bagus, tepat untuk kita memberikan muatan-muatan edukatif dan respon positif. Muatan edukatif dan respon yang nantinya memberikan nilai lebih dari makna bermain anak.
Ketika anak bermain ‘pasar-pasaran’, semisal.  Orang tua bisa memposisikan diri sebagai teman dan mulai sisipi atau mengalirkan pelajaran matematika, bahasa, atau  sosial. Mulai dari proses hitung-hitungan harga jual beli, bagaimana bahasa pembeli kepada penjual, sampai dengan proses tawar-menawarnya.
Supaya anak tidak merasa dunia bermainnya sedikit ‘diganggu’ oleh campur tanggan orang tua, kita harus bisa menempatkan diri dengan tepat dan lebih cerdas. Gunakan pendekatan, gerakan tubuh, sampai olahbahasa atau olahtutur, benar-benar sesuai dengan alur anak.
Itu adalah kekuatan dari belajar sambil bermain. Anak dengan sendirinya akan merekayasa kemampuan-kemampuan yang dimiliki. Mereka akan sangat alamiah ketika bercas-cis-cus dalam dunia bermainnya. Mereka akan mengolah kemampuan tanpa rasa takut untuk melakukan kesalahan. Bagi mereka, dalam bermain, tidak ada yang salah. Semua aktivitas dianggap sah dan akan terus dilakukan untuk membangun dunia mimpinya dalam permainan.
Melatih anak untuk meningkatkan menulis cerita adalah seperti halnya kita melatih anak untuk bermain. Melatih anak untuk mengasyikan diri. Melatih anak untuk memahami diri. Melatih anak untuk bersosial.
Mengarahkan berpikir abstrak mereka menjadi berpikir realitas tanpa menghilangkan unsur-unsur imajinatif yang segar dan menggoda. Dari paradigma inilah, kita perlahan-lahan memberikan perasaan positif, mendedikasikan arti kesuksesan, dan menguatkan pondasi rasa percaya diri anak.
Menulis cerita tidak perlu kita bayangkan sesuatu yang rumit dan njelimet. Menentukan tema, tokoh dan perwatakannya, alur, setting cerita, gaya bahasa, sampai dengan suasana pendukung cerita.
Teori dari unsur intrinsik cerita tersebut kita kesampingkan terlebih dahulu. Ingat, dunia anak bukanlah dunia teori sentris. Tidak usah risau dan galau. Tataran keilmuan nantinya akan terbangun dengan sendirinya seiring berkembangnya wawasan dan sejauh mana kita memoles dan memberikan sentuhan terhadap kemampuan anak.
 Fokus kita sekarang adalah, bagaimana anak memiliki kemampuan dalam olahfantasi dan imajinasi lewat perantara kegiatan bermainnya.
Melatih menulis cerita pada diri anak harus memiliki kesabaran dan ketelatenan yang sangat tinggi. Orang tua atau para pendidik tidak bisa mengajari anak/muridnya dengan cara yang otoriter. Artinya, anak kita jadikan sebagai sasaran objek yang harus menyelesaikan proyek menulis tanpa adanya mekanisme atau tahapan-tahapan pembelajaran yang mudah dipahami.
Tidak sekedar menentukan tema. Selanjutnya anak diwajibkan atau diharuskan menyelesaikan kegiatan menulis dengan bahasa yang baik dan benar.
Ini sama dengan mematikan kreativitas bercerita. Anak kita paksa. Imajinasi ditekan. Kreativitas dikekang. Yang muncul adalah ketakutan-ketakutan anak dalam memulai menulis. Ketakutan anak dalam mengutarakan apa yang pernah dirasakan, dilihat, dan dialami.
Melatih menulis cerita sama saja sejauh mana kreativitas kita dalam ‘ngudang’ anak. ‘Ngudang’ supaya mereka tidak takut salah dalam menorehkan daya dongengan dalam bentuk tulis.
‘Ngudang’ anak supaya mereka berani menggunakan imajinasi liarnya dalam bercerita. Untuk itu, piranti yang harus kita sediakan adalah  kekuatan stimulasi atau daya rangsang. Anak harus diberikan stimulasi awal untuk bisa membangkitkan daya imajinasinya.
Ya, stimulasi itulah yang dinamakan permainan. Permainan yang mampu merangsang otak kanan anak. Permainan yang diharapkan bisa menginspirasi proses belajar  (learn).
Stimulai, seperti verbal, visual, auditif, maupun taktil, yang dimunculkan dalam permainan haruslah mengandung unsur menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Hal ini sangat berefek pada optimalisasi proses menulis cerita lebih lanjut.
Empati dan imajinasi anak mulai fasilitasi lewat pancingan-pancingan sederhana. Permainan-permainan sederhana yang mampu mengatrol potensi dan kemampuan anak. Yang pada titik akhirnya, anak mampu mem-planning daya deskripsi (menggambarkan), eksposisi (menjelaskan), dan narasi (menceritakan) pengalaman yang pernah dialami, dilakukan, atau dirasakan.
Kita pasti pernah mengajak anak kita ke pantai. Merasakan angin sepoih-sepoih bersama-sama. Mendengarkan deru ombak dan melihat perahu nelayan berlayar dengan santainya.  Bermain di tepi pantai, membangun rumah atau benteng dari pasir putih.
Pernah kita berpikiran setelah kejadian itu? Pernahkah kita ‘ngudang’ anak untuk berani bercerita tentang pengalamannya di pantai yang mengasyikan tersebut. Pernahkah kita menjadikan permainan di pantai itu sebagai stimulasi dalam melatih anak untuk mendongeng secara lisan maupun tulis?
Sangat mengasyikkan kalau moment permainan tersebut kita abadikan sebagai media edukatif berbahasa. Memancing kemampuan bercerita anak. Bagaimana saat pertama menginjakkan kaki di bibir pantai, tubuh diterpa angin, melihat ombak bekejar-kejaran di lautan, perahu berlayar, saat rumah yang dibangun dari butir pasir dikikis air, sampai dengan merasakan hangat terik matahari.
Tanpa kita sadari, anak akan bercerita dengan lancarnya. Dia akan memaparkan secara rinci apa yang sudah dilakukan dalam permainan. Dia akan berorasi sampai kita mengalami kesulitan untuk menghentikannya.
Kita (baca: orang tua/pendidik) tidak perlu risau terkait dengan penggunaan kata atau kalimat yang mereka gunakan dalam berbahasa (baik lisan maupun tulis).
Penggunaan perulangan kata yang sama pada tiap paragraf tidak perlu kita khawatirkan. Biarkan saja. Biarkan saja mereka mencari dan menemukan jati diri berbahasa secara mandiri. Beri kebebasan anak untuk mencurahkan isi hatinya. Apa yang dia lihat, dengar, rasakan, dan dia raba ketika berada di pantai itu.
Biarkan anak mengeksplorasi kemampuan berceritanya. Biarkan anak belajar dari pancaindera yang dirasakan secara keseluruhan. Kita jangan mengintimidasi bahasa dan imajinasi anak.
Biarkan anak merekonstruksi kesenangan menjadi  bahasa imajiner. Menstruktur pola dan logika mereka  menjadi bangunan-bangun cerita yang menakjubkan dan berkarakter.
Setelah itu, kita akan mendapatkan portofolio hasil karya anak. Hasilnya, luar biasa. Anak, tanpa kita sadari, dia begitu mahir bercerita, mahir mengolah kata menjadi rangkaian kalimat. Menceritakan ide pemikiran yang di luar dugaan kita sebelumnya.
Selanjutnya, tugas kita terakhir adalah mengapresiasinya. Orang tua dan pendidik kelihatanya sangat minim menggunakan wahana MERAYAKAN  tersebut. Padahal, fase itu sangat dekat dengan dukungan moril. Di dalamnya terdapat unsur semangat atau motivasi secara ekstrinsik. Dan itulah yang dibutuhkan anak dalam membentuk karakter berkarya dan berkreasi.
Kita harus membiasakan diri menggunakan kekuatan ‘KAIZEN’. Sebuah kekuatan orang Jepang dalam menghargai/memperbaiki dari yang kecil-kecil, berkesinambungan, dan terus menerus.
Minimal dengan kata-kata “Bagus”, “Luar biasa”, atau “Tulisan kamu, OK”. MERAYAKAN hal kecil yang sudah dilakukan oleh anak. Sudah cukup. Anak tidak membutuhkan hadiah yang mahal. Anak hanya perlu diperhatikan. Butuh pengakuan dari kita bahwa dia bisa. Bahwa dia mampu.
Sekali-kali karya tulis anak perlu pampang di pigora atau kita tempel di pintu kamar tidur anak. Dia akan memiliki banggaan. Karyanya bisa menghiasi rumah meskipun masih di area yang kecil.
Secara tidak kita sadari, motivasinya mendadak berlipat ganda. Eksistensi anak tercipta. Lebih percaya diri. Dia seraya memiliki mimpi. Memiliki opsesi untuk menjadi penulis. Memiliki karya. Mencipta buku dan terkenal.
Inilah kekuatan permainan dalam melatih menulis cerita. Lewat permainan, kita bisa mengasa talenta-talenta anak. Lewat permainan, kita akan belajar menghargai, memahami, dan mengenal jati diri anak. Lewat permainan pula, kita akan mengetahui keahlian atau kegemaran anak yang harus kita kembangkan ke depan.
Anak salah itu biasa. Yang tidak boleh adalah anak berbuat dosa. Melatih anak menulis cerita pasti berangkat dari kesalahan-kesalahan. Tidak perlu risau atau takut.
Seiring berjalannya waktu, anak akan mengetahui sendiri kesalahannya. Itu proses. Biarkan saja dulu. Kita harus menjadi guru yang telaten. Jangan keras atau menggunakan nada tinggi ketika anak melakukan kesalahan. Perlahan-lahan kita masuk dan memberikan arahan, bukan membetulkan. Kita memberikan rambu-rambu dan anak yang menjalankan. Dan seterusnya, anak akan belajar dengan sendirinya.
Melatih menulis cerita sama saja mengajari anak mendongeng tentang AKU dan sekelilingKU. Melatih menulis cerita adalah sama halnya kita memberikan nilai pada makna pengalaman yang pernah dialami anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar