4 Apr 2013

Naskah Lomba Penulisan Cerpen Memperingati Hari Kartini


Pasung
Karya: Ichwan Arif, S.S.
Kondisi Kaila sangat mengenaskan. Rambut sebahunya tidak beraturan. Terlihat acak-acakan. Wajahnya lusuh dan pucat. Tangannya sangat gontai tidak bergeming, tergeletak di amben bambu yang berukuran 1x2 meter. Matanya cekung memerah. Sesekali dibuka, sesekali tertutup. Itupun dilakukan ketika kalau ada cahaya yang masuk ke ruang melalui pusat lubang ventilasi yang berada tepat di atasnya.
Kedua kakinya terbujur membatu. Pergelangan kedua kakinya bengkak di antara 2 lubang kayu trembesi yang menancap di ujung amben tua. Ya, bilahan kayu trembesi besar yang berdiameter 7 cm telah mengekang gerak dan langkah Kaila selama beberapa bulan ini.
Hari-hari Kaila dilalui seperti meniti jembatan sembilu dengan bentangan sungai penuh buaya, super croc, di bawahnya. Buaya dengan panjang 40 kaki dengan hampir 8 ton beratnya,  berkecepatan gerak mencapai 40-60 km/jam, siap mengoyak mangsa dengan deretan gigi-gigi besar dan tajam berjumlah lebih dari 100. Menakutkan dan menyeramkan.
Kaila tidak bisa lagi membedakan lagi, pagi, sore, maupun malam. Jam berapa dan hari apa. Baginya, semua itu sama saja. Sementara, jam dinding akan terus menghitung dan menderek jarumnya sebagai tanda semakin lama lara yang dialami dan dijalani. Bunyinya menciptakan orkestra kesenyapan demi kesenyapan.
Sekarang, baginya, kamar ini tak ubahnya sebagai penjara. Atau tepatnya, mirip tahanan. Tempat para pembangkang menunggu hukuman pancung awal abad 20-an. Menunggu kapan dipanggil dan melihat sang algojo menebas leher si pecundang dengan pedang tajamnya. Dalam hitungan 2-3 detik, pemisahan otak dan sumsum tulang belakang, menyebabkan pendarahan besar-besaran. Geladak kayu pun berlumuran darah segar yang muncrat dari arteri dan vena yang terputus.
        Malam telah berganti. Embun masih menyisahkan jejak di daun yang membawa pagi kembali berkelana. Udara masih terasa dingin. Kawanan burung masih enggan terbang melintasi siluet sisa kemarin malam. Rumah Pak Sumanta masih belum ada aktivitas. Pintu dan jendela ukuran besar tertutup rapat. Begitu juga sangkar burung perkutut belum dikerek pada menara bambu yang ada di samping rumahnya.
      Sinar matahari pun belum matang. Cahaya kecilnya masuk dari lubang dinding kayu. Putih dan berkilauan. Titik-titik embun ikut melayang menyusuri gelombang cahaya. Menghampiri dan perlahan-lahan mengisi ruang. Cahaya itulah yang membangungkan Kaila dari tidur semalaman. Dia menghela nafas. Matanya dibuka. Melihat kedua tangan dan kakinya tak perdaya. Mengerang kesakitan.
            Kamar bekas pembantu yang berada di buritan rumah, telah menjadi saksi bisu dan  hunia terakhir bagi Kaila setelah peristiwa adu mulut, hampir 2 jam dengan ayahnya, pekan lalu. Malam itu, Kaila menjadi terdakwa di hadapan ayahnya karena tidak nuruti apa yang telah digariskan keluarga ningratnya. Jawaban yang keluar dari mulut Kaila tidak satupun benar dan membenarkan apa yang telah dilakukan. Sampai-sampai, organisasi yang telah diikuti selama 2 tahun ini menjadi bulan-bulanan.
Di mata ayah, dia dan teman-teman organisasi tak ubahnya seperti kelinci yang tidak berdaya di depan hewan pemangsa. Siap dimakan tanpa sisa apapun. Kaila tidak berkutik. Bahkan ibu yang duduk di kursi ukiran, di pojok ruang keluarga tidak bisa berbuat apapun. Mata dan tangannya hanya bisa tertunduk, terpaut, dan memegang erat-erat. Seakan merasakan bagaimana hati Kaila tidak bisa menampung perkataan dari ayahnya.
Kaila hanya duduk dengan pandangan mata ke lantai warna kuning maron. Tangannya memegang ujung baju bermotif. Meremas dengan buliran keringat dingin mengalir tipis di sela-sela jemari. Dalam tradisi ningrat keluarganya, tidak diperbolehkan menyela maupun berani menantang ucapan dari kepala keluarga. Bagi keluarga ningrat, anak maupun istri harus tunduk dan patuh. Nrimo ing pandum.
“Kalau kamu tidak bisa diatur dan tidak nuruti apa yang dikatakan bapak, mendingan kamu masuk ke kamar belakang sekarang!” Itulah kalimat perintah terakhir yang diucapkan ayah, sambil tangan kananya memukul meja bulat yang ada di samping Kaila. Kaila tersentak, kaget. Tidak bergeming mendengar hentakan keras tersebut.
“Saya kunci sekalian, biar kamu tidak bisa ikut organisasi busuk itu,” bentaknya, membalikan badan besarnya, membelakangi Kaila.
“Tapi, Ayah,” sela, Kaila, lirih. Kaila masih tertunduk, tidak memberanikan diri memandang wajah ayahnya.
“Kamu sudah berani sama ayah,” sahut ayah, cepat. “Tidak pakai tapi-tapian. Kalau kamu tidak mengikuti perintah ayah dan masih melanjutkan aksi demo dengan teman-teman kamu di kampus, mendingan kamu sekarang masuk kamar belakang,” lanjutnya. Bagai halilintar menyambar tubuh Kaila. Badannya terasa melayang tanpa arah dan terbentur di tembok raksasa. Jatuh bergelimpangan dengan tubuh menancap, berdarah.
Selesai mengutarakan amarah, ayah Kaila langsung menarik tangan kanan Kaila dengan keras. Dia tak mampu meronta, diam, dan nuruti  arah tarikan.
Ibu Kaila terdiam seribu bahasa. Pandangan matanya terasa pecah. Tidak menyadari suaminya telah membawa Kaila ke kamar pesakitan. Tak tahan dengan derai amukan, ibu memejamkan mata perlahan. Tak kuasa melihat putri tunggalnya pasrah dengan takdir.
Meskipun dalam keadaan mata tertutup, air mata perempuan tengah baya itu, menetes di sela-sela kerutan wajahnya. Air matanya keluar dari muara kekecewaan sebagai nada protes. Tangannya masih menggenggam erat sandaran kursi. Jantungnya memopa cepat dan dahsyat. Udara malam terasa menyengat. Dinginnya mendadak berubah menjadi jilatan api yang sewaktu-waktu bisa membakar apa yang dekat sumber api.
“Masuk, Kamu!” perintah ayah Kaila, sambil mendorong tubuh Kaila, dengan nada keras. Kaila tersungkur sambil melihat pintu ditutup dengan kerasnya.  Ayah Kaila langsung mengunci rapat. Selesai itu, tubuhnya berdiri membelakangi pintu dengan nada kekesalan luar biasa. Kekecewaan seorang ningrat melihat anaknya tidak bisa mewarisi tradisi keluarga besarnya.
“Kamu boleh berpolitik di kamar saja. Silahkan demo,” ucap Ayah Kaila, yang semakin lirih kedengarannya. Malam semakin mencekam. Suasana pertikaian menjadi semakin suram dan meruncing. Lampu 20 watt yang berada di tengah ruang masih menyinari wajah ibu dan ayah yang terdiam di tempat yang berbeda. Ibu hanya bisa meratapi. Nafasnya semakin tidak beraturan, merasakan bagaimana jatuh berkeping-kepingnya hati Kaila di dalam kamar gelap dan terkunci. Matanya kembali berkaca-kaca.
Sembilu mendadak menghampir 2 perasaan orang tua ini. Mereka hanya bisa berpandangan tanpa berujar sama sekali. Hanya tatapan mata menggambarkan ketidaksempurnaan. Tatapan kosong yang membumbung tanpa arah yang jelas. Melingkar-lingkar, terpatri dalam cawang malam yang semakin menyayat. Dua hati yang sama-sama remuk oleh deraian pertikaiaan. Kesalahpahaman. Ketidakharmonisan. Sekejap, tubuhnya luluh, kosong dalam penafsiran yang tidak menentu.

***

Semenjak keinginan untuk berkecimpung berpolitik tidak direstui ayahnya, kehidupan Kaila berubah 180 derajat. Biasanya dia sosok wanita periang, humoris, dan aktif. Sekarang, dia tak ubahnya menjadi wanita pendiam, bahkan bisa dikata sangat pendiam. Mulutnya seakan terkunci dengan gembok berkarat sangat besar dan berat. Tak mampu berkata atau mengucapkan nada protes. Baginya, diam adalah yang terbaik dan terhormat. Itulah yang diharapkan oleh ayah, dalam keluarga ningratnya, selama ini.
Pada awal-awal berada dalam kamar, Kaila mencoba berontak. Protesnya dilampiaskan dengan menggedor-gedor pintu dan membanting semua barang yang ada dalam kamar. Tak ayal, suara berisiknya membuat ayah menjadi berang dan darahnya memuncak di ubun-ubun. Merasa terganggu dan takut malu suara anaknya didengar oleh tetangga, dia memasung kaki Kaila.
“Pasungan ini supaya kamu menghargai ayah. Tidak banyak protes dan belajar menjadi anak mau nrimo,” gumam ayah, dengan memasang kayu melingkar di kedua kaki Kaila. Sejak saat itu, dia hanya bisa selonjor, tertekun, mati rasa melihat kakinya terbelenggu. Kakinya bagai benda mati yang tidak bisa digerakkan dan tertambat rapat, melilit di kayu trembesi.
Semenjak itu, hari-hari Kaila bagai  bongkahan batu, yang siap diserpih kecil-kecil oleh penambang batu kapur. Dimuat gerobok, dan dimasukan dalam tungku pembakaran. Ya, pembakaran. Sedangkan, matanya melintasi seluruh isi ruang. Melihat 3 lubang angin-angin berukuran kecil yang ada berada di atas tubuhnya. Angin yang masuk tak sempat menerpa wajahnya. Alur angin sudah habis, menempel pada seluruh dinding dan sebagian tertambat di sawang, pojok kamar.
Tidur terkulai di ranjang dengan kaki yang dipasung adalah kenyataan hidup yang harus dijalani sekarang. Terasa, kayu trembesi telah mengakar di sekujur tubuhnya. Semua pancaindera telah mati rasa. Tidak berfungsi normal. Sampai-sampai untuk merasakan sengatan nyamuk pun sudah tidak mampu. Apalagi mendengarkan suara-suara yang ada di luar sana. Semua sekarang berubah menjadi aungan burung hantu. Ya, suara burung hantu yang akan menenggelamkan malam pada kubangan yang siap ditimbun hidup-hidup.
Hidupnya sekarang penuh dengan lamunan hampa. Sehampa pandangan mata menyaksikan kamar tua yang sudah ditempati  hampir 3 bulan. Ruang yang telah memasungnya. Sosok perempuan aktif sekarang tak ubahnya sosok semimayat yang hanya memiliki sisa nafas. Tersendat-sendat.
Bicara pun dibatasi. Itupun hanya dilakukan ketika ibunya mengantarkan makanan ke dalam kamar. Tapi yang lebih banyak hanya diam. Dengan diam, ibunya lebih  bisa merasakan bagaimana tertekan Kaila ketika menjalani pasungan. Lebih bisa mendalami, bukan hanya tubuh, kaki, dan kedua kakinya, tetapi hati dan jiwanya.
Ketika meletakkan makanan di amben bambu, kontak mata dan hati antara ibu dan Kaila terjalin. Menggelayut. Gelombang dan detak jantung seorang ibu benar-benar diuji kesabarannya. Terus meraung, merasakan derita pasungan kayu trembesi.
Sang ibu memang dilarang keras untuk menyentuh, bersuara dan berlama-lama di dalam kamar ketika mengantarkan makan.Bahkan hanya sekedar menyuapinya. Pada minggu-minggu awal, ibu kelihatan sangat iba melihat keadaan putrinya. Dia sempat mencuri-curi waktu hanya sekedar duduk mendekat di pinggir wajah putrinya. Meraba pipi dan dagu Kaila. Sesekali mengusap bekas air mata yang membekas di pelupuk mata. Berbicara lirih sekedar menanyakan keadaannya dan menanyakan permintaan khusus yang  bisa diantar bersama dengan makanan nanti malam.
“Nak, minta apa? Nggak apa-apa, permintaanmu nanti ibu antar ketika mengirim   makanan. Nggak usah takut, ayah pasti nggak tahu,” tutur ibu, sambil mendekatkan bibirnya persis di dekat telingah Kaila, lirih. “Ibu akan hati-hati,” tambahnya, sambil air matanya menentes persis di pipi Kaila.
“Kaila tidak butuh apa-apa, Bu” jawab Kaila, terpatah-patah. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Kaila pun memejamkan matanya, tidak tega melihat wajah ibu.
“Ibu keluar, nanti dimarahi ayah,” pinta Kaila.
“Ayah masih rumah Pak Karto, mengantarkan surat penting, katannya,” papar ibu, sambil membelai rambut kusut Kaila.
Hembusan angin dari mata jendela masuk menerobos dalam ruangan yang gelap. Sedikit terasa, walaupun pengap. Dua tubuh sama-sama termenung. Kaila mengerang sedikit kesakitan ketika menggerakan kakinya. Kayu trembesi membuat kulit putihnya memerah.
“Sabar ya, Nak,” guman ibunya berkali-kali, merapikan baju Kaila yang sudah mulai kusam dan berdebu.
Ibu Kaila pun berdiri. Mendekat pada kedua kaki yang mengering. Tangannya memegang telapak kaki. Hatinya terasa meledak, dihantam puluhan bom molotov. Berkobar dan mau teriak kekencang-kencangnya.
“Ibu, lekas keluar,” pinta Kaila, dengan mata yang masih tertutup. Kaila tidak berani membuka mata untuk bisa melihat ibunya. Membuka mata, menurut Kaila, sama halnya dengan menancapkan sebila belati raksasa dalam tubuhnya sendiri.
“Nanti dimarahi ayah, lekas keluar. Kaila sayang ibu,” tambahnya, singkat. Terasa halilintas menampar kesedian untuk kesekian kalinya. Mata ibu kembali tertekun. Air matanya menetes untuk beberapa saat.
Sambil mengusap kedua kaki Kaila, ibu melangkahkan kaki lunglai menjauh, menuju pintu berwarna kuning. Memegang gagang pun terasa tidak kuat menakala melihat keadaan anaknya yang terbujur tidak berdaya.
Sebelum menutup pintu, mata sang ibu kembali menatap Kaila. Agak lama. Perasaan ibu kembali bergetar. Tubuh Kaila hanyut dalam kegelapan. Hanya terlihat samar-samar, itupun tertutup oleh amben yang lebih besar dari tubuh Kaila.
Samar-samar suara kaki memasuki rumah. Beberapa saat kemudian dibarengi dengan suara pintu pagar. Ibu cepat-cepat mengunci  pintu kamar dan bergegas duduk di kursi, ruang keluarga.
Dengan langkah kaki tegap berjalan, ayah memasuki rumah. Mengambil air minum yang terletak di atas meja. “Ibu sudah mengantar makan untuk Kaila,” tanyanya, sambil duduk persis di samping ibu. Ibu hanya menjawab dengan anggukan sederhana. Anggukan tanpa energi untuk seorang ibu dengan pertanyaan seperti itu.
Radio tua yang terdapat di meja bulat, pojok ruangan, menjadi saksi kebisuan beberapa saat. Seakan menjadi alat perekam gelombang romansa-romansa yang seakan telah sirna. Tenggelam bersama deruan gelombang pasir, arus bawah laut.
“Ayah hanya memberikan pembelajaran pada Kaila. Itu saja. Tidak lebih. Biar dia bisa merenungkan diri bahwa ayah paling tidak suka anaknya aktif berpolitik. Ikut-ikutan demo, berorasi. Seperti anak laki-laki saja. Apa itu?” jelas ayah, meletakkan gelas stenlis. “Itu tidak pantas untuk  perempuan ningrat seperti dia. Hanya itu saja,” lanjut ayah, sambil melangkahkan kaki di depan cermin yang bergelantung di dinding.
“Perempuan ningrat itu ya harus nurut sama orang tua. Kegiatannya tidak bergerombol, rame-rame. Teriak-teriak nggak jelas. Itu namanya melanggar kodrat seorang perempuan ningrat, keturunan darah biru,” tambahnya dengan suara agak keras.
Lampu dengan ukiran khas keluarga ningrat masih menyala di ruang. Temaram cahayanya seakan memberikan sinar spontan pada seisi rumah. Dua bayangan dengan perenungan mendalam.
 “Apakah salah kalau Kaila dengan dunianya sekarang?” tanya ibu dengan muka sedikit ketakutan, terpatah-patah. Pertanyaan ini adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya selama pertengkaran Kaila dengan ayah beberapa bulan lalu. Selama ini, ibu hanya bisa diam dan diam melihat kesewenang-wenangan ayah ketika berdebat dengan Kaila.
“Ningrat itu terhormat. Ibu tahu dan selalu ingin menjaganya sampai ibu diusung orang kampung dengan keranda menuju pemakaman nanti. Ibu yakin, ningrat juga punya hak untuk bersuara untuk mengutarakan kebaikan untuk sesama. Kaila pun demikian,” jelas ibu, mendekati ayah. Suara semilir angin di luar rumah masuk dari lubang ventilasi yang ada di atas pintu utama.
“Dia kita sekolahkan sampai pada jenjang perguruan tinggi itu kebaikan bersama. Dia juga ingin selalu menjaga martabat keningratan sampeyan,” suara ibu pelan dihadapan ayah. Ayah masih membisu memandang wajah istrinya melalui cermin.
“Model rambutnya, pakai celana jens, kaus lengan pendek seperti itu sampeyan katakan mewarisi perempuan ningrat. Kaila tidak bisa menjaga nama ningrat keluarga besar kita,” jelas ayah, seraya melangkahkan kaki membuka jendela yang berada di samping ruang keluarga. Udara mengalir , menyergap perlahan.
“Sekarang, ayah tega melihat Kaila terbaring kaku dengan kaki dipasung seperti itu,” gumam ibu, mendekat di sisi ayah. “Untuk gerak saja susah. Sendirian dan kedinginan di dalam kamar yang gelap,” tambahnya, seraya merayu.
“Orang tua kita mengajarkan bahwa ningrat itu adalah predikat yang tersematkan pada diri untuk kebenaran yang mutlak. Ningrat itu dekat dengan kebenaran sejati. Kaila, anak kita, sedang belajar memahami kebenaran dari keningratan,” jelas ibu, berdiri sejajar dengan ayah di samping jendela yang lumayan besar.
Pohon gayam dengan anak rantingnya menunjukkan kemesraan dalam balutan udara dingin di luar sana. Daun mungil-mungilnya bertautan, bercengkrama, tentang kerindangan dan kebersamaan.
“Ayah, dia anak kita satu-satunya. Kaila butuh bimbingan bukan hukuman. Hukuman tidak memberikan pembelajaran yang baik. Malah menyakiti. Ningrat akan kita ajarkan untuk masa depannya. Jangan terlalu kaku. Otoriter. Dia punya hak yang sama. Meniti masa depannya. Zaman dia sudah berbeda dengan zaman kita dulu, Ayah,” jelasnya, dengan suara pelan. “Dia sedang belajar, ayah,” pinta ibu dengan memegang pundah ayah.
“Ayah masih ingat ucapan bapak sebelum beliau meninggal dulu,” tanya ibu.
“Masih ingat. Ada apa dengan pesan itu?” tanya balik, ayah.
“Bapak tidak terlalu kaku mengajarkan keningratan pada kita. Beliau hanya titip pesan pada keluarga kita adalah jaga keningratan keluarga. Bersikap jujur, tanggung jawab, menjunjung kebenaran, selalu bersikap sopan santun. Ngerti ungga-unggu. Itu saja,” papar ibu,  panjang lebar.
“Kaila itu tidak memiliki sopan santun. Dinasihati baik-baik malah ngeyel, mbantah,” ujar ayah, membalik badan. Suasana kembali sunyi. Hanya bunyi jangkrik yang bersuara di balik gundukan semak belukar, samping rumah.
“Kaila itu wataknya keras. Ngajari keningratan pada dia butuh waktu dan proses. Yang ajek, Ayah,” tutur ibunya, pelan seraya tidak menggurui. “Bukan dengan cara dipasung seperti ini. Fisik bisa dipasung, tetapi jiwa akan terus berontak. Menjadi-jadi. Dia butuh pendekatan. Menjelaskan dengan baik-baik supaya dia mau menjalankan seperti wasiat bapak dulu. Ibu yakin, Kaila pasti mau,” menutup pembicaraan. Ibu menutup jendela dan menuju ke kamar.
Ayah masih berdiri membisu. Melihat langit-langit rumah. Udara terasa semakin dingin, masuk ke pusat relung tulang. Menghela nafas panjang.
Ayah berjalan pelan melintasi lorong ruang yang terletak di samping ruang keluarga. Menghentikan langkahnya persis di depan foto keluarga dengan pigura ukiran jepara warna keemasan.
Matanya melihat dengan teliti. Mencermati foto keluarga yang lengkap dengan pakaian keningratan. Tangannya meraih pigura dan melepaskan dari paku yang menempel di dinding. Diambilah pigura itu. Cahaya matanya terus memandang wajah Kaila dengan seksama. Diusap wajah, penuh perasaan dan kasih sayang. Beberapa kali. Jemari tangan kanannya terus merasakan. Matanya merah. Sebentar kemudian, tangisan terdengar lirih. Tak terasa, 2 sisi matanya mulai memunculkan buliran air mata.
“Maafkan ayah, Kaila,” sambil sesenggukan, mendekap pigura, erat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar