27 Nov 2012

Menggambar Pelangi Tak Selamanya Pakai Warna Mejikuhibiniu



Ketika mengajar proses kreatif, hal luar biasa saya dapatkan secara tidak sengaja. Tanpa diperkirakan sebelumnya. Saya menyampaikan bahwa proses kreatif adalah proses di mana seseorang mampu berpikir yang berbeda dengan yang lain. Ide yang unik dan menarik. Ide yang belum pernah disampaikan atau dibuat oleh orang lain. Itulah kalimat pembuka saat menghadapi 30 siswa. Pada bagian akhir pembuka, saya menutup dengan kalimat, “Proses kreatif adalah sesuatu yang amazing.”
Selesai saya mengucapkan kalimat tersebut, siswa di deretan paling belakang mengangkat tangan dan berkomentar dengan nada sedang. “Berarti, proses kreatif itu adalah ide biasa menjadi luar biasa.” Pandangan 29 siswa lainnya menantap ke arah siswa tersebut. Beberapa detik kemudian siswa tersebut melanjutkan tuturnya. “Berarti tidak apa-apa kalau saya menggambar pelangi tidak menggunakan warna mejikuhibiniu?” Semua anak tertawa.
Saya terdiam sebentar. Tertekun. Memutar otak untuk mencari jawaban yang pas dan cocok untuk saya sampaikan kepada siswa tersebut. Saya harus mencari jawaban dengan kata sederhana sehingga dimengerti dan dipahami. Bukan hanya untuk siswa yang bertanya tetapi untuk dimengerti semua.
Sejurus kemudian, saya mengambil 2 helai kertas yang tergeletak di meja. Saya mulai menata kalimat. Dengan sedikit gaya, saya mulai bertutur. “Seorang penulis yang kreatif, 2 kertas putih ini bisa dijadikan sebagai bahan untuk membangkitkan imajinasi luar biasa dalam menulis cerita.” Selanjutnya saya melipat kertas tersebut sampai terbentuk seperti pistol.
“Bagi penulis yang kreatif, ini adalah pistol kaliber 9 mm yang bisa menembakkan 20 pelor dalam hitungan detik. Pistol itu sangat canggih yang bisa mendeteksi sasaran tembak dengan tepat. Karena tipis, pistol tersebut bisa ditempatkan dan diselipkan tanpa ada orang yang curiga dan mengetahui. Pistol itu layaknya dibawa oleh satuan polisi kita untuk bisa mengejar para pembobol ATM, perkantoran, sampai dengan para koruptor yang melarikan uang negara,” ujar saya, berapi-api.
“Pistol itu juga bisa dijadikan alat deteksi kebohongan bagi para koruptor ketika diintrogasi petugas,” cetus siswa. “Iya, betul. Pistol ini amat canggih dan multifungsi,” jawab saya, singkat, menanggapi pertanyaan tersebut, sambil menyelipkan pistol kertas di saku kanan celana saya.
Luar biasa. Respon positif siswa telah membawa pada pemahaman dan kebertahuan mereka tentang wawasan yang saya berikan. Mereka mulai belajar logika. Sedikit sentuhan mereka akan memiliki kekuatan mahadahsyat. Kita tinggal menunggu waktu saja, mereka akan menjadi penulis besar. Perasaan itulah yang terbersit dalam pikiran dan anggan-angan.
Mengajarkan bahasa Indonesia, khususnya materi menulis, memang butuh keseriusan dan kesabaran. Membimbing, mengarahkan, motivasi, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mengapresiasi setiap hasil proses kerja yang dilakukan siswa. Prinsipnya, mengajar menulis adalah kita harus rela dan berbesar hati untuk menjadi teman dan sahabat dekat anak. Prinsip inilah yang selama ini saya praktikan sehingga siswa merasa tidak ada ketakutan dalam menuangkan ide dan gagasannya. Itu Utama.
Dunia anak adalah dunia visual. Mengajarkan menulis tidak bisa abstrak. Apalagi dibarengi dengan penggunakan bahasa dan teori yang tinggi. Cukup buat mereka bisa ‘melihat’ dan bisa memraktikan visual tersebut. Membuat siswa bisa ‘melihat’ adalah dengan strategi khusus, yaitu buat metode dan media yang dekat dengan anak. Buat mereka senang dulu sehingga pancaranan pencitraan (pemanfaatan pancaindera) siswa bisa merespos. Respon inilah yang kita harapkan agar ide-ide segar anak bisa mengalir laksana air.  
Memperkenalkan dunia menulis adalah obsesi saya pertama semenjak menjadi guru. Dunia menulis harus menjadi dunia anak. Dunia menulis harus menjadi dunia di mana siswa bisa berkreasi, berimajinasi, berinonasi, kompetisi di bidang ide dan gagasan, dan berprestasi.
Dalam proses belajar, kita harus menghindari ungkapan kalimat tanya, “Bagaimana cara menulis yang baik adalah?” Atau “Cara membuat judul yang baik adalah?” Ungkapan tersebut secara tersirat memuat teori dan biasanya dalam pikiran anak harus dihafal dan ditulis buku catatan karena akan keluar dalam ujian. Guru dan siswa terasa masih ada sekat. Jurang pemisah. Di dalam kelas masih bisa menjadi ruang belajar yang ‘normal’.
Saya selalu menggunakan kalimat “Ayo, menulis!” Kalimat tersebut sangat sederhana dan memilik kandungannya yang sangat dalam. Kalimat tersebut selain berisi nada menyemangati, secara psikologis, siswa mereka diorangkan. Guru bisa memposisikan sebagai teman belajar yang ‘normal’. Secara tidak langsung, guru bisa memanfaatkan situasi tersebut untuk mentrasnfer ilmu, khususnya bagaimana bagaimana cara menulis dengan gaya menarik? Bagaimana trik dan tips menulis cerita yang baik? Sampai dengan mengenalkan konsep 5 W + 1 H.
Penulis adalah dunia kreativitas. Kalimat ini yang sering kali saya sampaikan kepada semua siswa di kelas. Setiap kali saya masuk kelas selalu saya ulang-ulang. Sampai-sampai dalam kelas tersebut seperti redaktur surat kabar/majalah yang siap dengan kerja praktik dalam meliput berita.
Membangun pola pikir adalah standar dasar yang saya berikan kepada siswa. Bahwa menulis adalah sebuah kebutuhan dan tantangan. Belajar menulis adalah belajar tentang hidup. Belajar menulis adalah belajar mengatur strategi. Strategi bagaimana siswa mampu menjalankan rutinitas dalam kehidupan.
Untuk itu, saya selalu memberikan tantangan-tantangan baru dalam belajar di kelas. Tantangan tersebut diharapkan menjadi motivasi dan menggugah rasa ingin tahu siswa. Tantangan pertama adalah reportasi penambang batu di wilayah gunung kapur yang berjarak 1 km dari lokasi sekolah.
Tantangan tersebut direspon luar biasa. Secara mandiri mereka membentuk kelompok kecil. Ada yang menjadi penulis, pewawancara, dan fotografinya. Menyiapkan tape recorder dan perlengkapan pendukung lainnya. Mereka siap menjadi wartawan cilik yang profesional. Pada pelaksanaannya, mereka kerja sama memburu berita. Semua personil wartawan cilik bahu-membahu dalam mengorek keterangan mulai dari nama, penghasilan, keluarga, suka duka, lama kerjanya, sampai dengan prinsip dalam hidupnya.
Sesampai di sekolah, mereka tidak berhenti berpikir. Mereka melakukan rapat redaksi untuk bisa menghimpun berita yang lengkap. Setelah data dan informasi dibuat dengan lengkap, mereka siap menerbitkan dalam mading kelas. “Bagaimana perasaan kamu tentang kegiatan yang baru kamu lakukan?” tanya saya pada salah satu siswa. “Bangga, Pak. Liputan kelompok saya di baca seluruh siswa.” Jawabnya singkat, sambil tersenyum. Saya bangga tidak terhingga mendengarnya.
Tantangan pertama dilalui dengan sempurna oleh seluruh siswa. Tantangan kedua harus lebih ‘gila’ (menurut saya). Tugasnya adalah siswa harus memburu berita dengan bantuan foto. Tiap kelompok diberi tema foto yang akan diambil. Mulai dari pencemaran limbah dan polusi, transaksi jual beli di pasar, anak jalanan, pekerja di pelabuhan, sampah dan problematikanya, serta transportasi. Siswa harus memburu foto yang menarik dari masing-masing tema yang diberikan. Dari hasil foto tersebut siswa harus membuat ilustrasi dan deskripsi (caption) dari gambar foto yang diambil.
Tantangan belum selesai sampai di situ. Setelah mengambil gambar foto dan membuat naskah ilustrasi dan deskripsi, masing-masing kelompok harus memamerkan hasil karyanya di halaman sekolah. Mereka harus mempresentasikan kepada setiap siswa yang mengunjungi stand mereka.
Ya, mereka selain belajar kerja sama, mengasah nalar dan logika, mereka juga harus belajar tanggung jawab. Mereka mencari objek foto, membuat ilustrasi dan deskripsi yang pas dengan objek. Bagaimana menjadikan gambar foto yang bisa berbicara dengan lengkap. Inilah faktor kesulitas pada tantangan kedua.
“Bagaimana kesan kamu setelah melakukan kerja menjadi wartawan cilik?” tanya saya pada siswa disela-sela pameran foto. “Menulis adalah dunia yang penuh tantangan. Saya banyak belajar. Terima kasih telah diberi kesempatan untuk membuat liputan, Pak,” jawabnya. “Sama-sama,” jawab pendek saya, sambil berjabat tangan. “Anda adalah seorang pemimpin,” tambahku.
Tantangan kedua lulus. Siswa dengan cekatan mampu menerjemahkan dan melaksanakan dengan baik. Tantangan ketiga grafiknya harus dinaikan. Uji nyalinya harus lebih. Lebih komplek dengan faktor kesulitan harus berbeda. Pengalaman ide harus dikedepankan. Ya, ide ‘gila’ harus dinomorsatukan.
Ide membuat tantangan ketiga berawal ketika saya melihat tayangan di salah satu stasiun televisi. Pada waktu itu televisi swasta menayangkan festival film indie. Saya ikuti tayangan tersebut dengan seksama. Mulai dari ide cerita dan kemasan alurnya. Dalam benak saya terbersit, bisa tidak anak SMP membuat film indie?
Pikiran tersebut terus mewarna setiap langkah kerja saya di sekolah. Sampai suatu saat ide gila tersebut saya sampaikan ke seluruh siswa. Kaget bukan kepalang, ketika seluruh siswa memberikan repos positif. “Bisa, Pak!” Secara tidak sengaja, keluar kalimat dari mulut saya, “Jangan bohong, kamu!”
Ini adalah motivasi bagi saya. Innovation ot die. Saya pun merancang strategi. Pertama, anak harus merumuskan dalam bentuk naskah drama dalam bentuk skenario film. Kedua, memberikan arahan proses pengambilan gambar dan kesiapan siswa dalam meragakan alur cerita.
Lokasi shooting film indie dilaksanakan di sekolah. Tema yang diangkat siswa beragam. Pesan yang ingin disampaikan dalam film indie pun dikemas dengan rapi. Muatan moral tetap menjadi nomor satu.
Sekitar 2 minggu siswa bisa merampungkan pembuatan film indie. Akan lebih menarik, saya mengemas dalam bentuk festival. Ya, supaya ada greget dan ada unsur kompetisi. Kemasan Festival Film Indie (FFI) saya samakan dengan pelaksanaan Festival Film Indonesia (FFI). Ada karpet merah, MC, pembaca nominasi pemenang, dan hadiah bagi para pemenang yang pasti.
Hasilnya diluar perkiraan. Empat film indie dengan judul The Gank vs Asongan, Rendevous, Kelas Misteri, dan We vs Teacher berhasil diproduksi secara mandiri oleh siswa. Festival berjalan sesuai skenario. Antusias siswa luar biasa. Beberapa media sempat meliput suasana FFI. Ini adalah kebanggaan bersama. Utamanya adalah siswa sudah berhasil berpikir dan beraplikasi ilmu. “Sukses itu akan datang ketika kita sudah belajar, berusaha dengan semangat baja, dan doa,” Kalimat itulah yang sampaikan ketika membuka acara FFI.
Berangkat dari ide nyeleneh, menggambar pelangi, menjadi motivasi saya untuk memgembangkan dan memberikan pengalaman hidup pada diri siswa. “Jangan tanya apa yang diberikan ke sekolah untuk saya, tetapi apa yang bisa saya berikan lebih untuk anak didik saya.” Ini adalah kata kunci. Utama dan pertama.
“Terima kasih, pelangimu telah menginspirasiku.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar